Belajar Dari Idola Tanpa Kehilangan Diri Sendiri







Saya punya kebiasaan riset mau hal serius atau remeh. Makanya, ketika ada berita dari seorang pesohor, biasanya saya akan berakhir mencari tahu masa kecilnya seperti apa dan riwayat hidupnya. Saat membaca beberapa artikel figur publik di biografipublik.id, saya jadi merenungi soal idola. Belajar dari idola itu menjadi hal menyenangkan, tetapi apakah kita masih bisa menjadi diri sendiri?

Barusan, saya membaca beberapa utas di X yang lagi-lagi datang dari seorang penggemar. Saya menggunakan X murni untuk fangirling komik manhwa, manga, anime, drakor, dan sesekali film. Tentu saja ada aktor dan aktris yang sangat saya sukai. Namun, saya heran ketika menemukan tulisan seorang fans yang malah sibuk membenci pesohor lain demi memuji idolanya sendiri.

Menjadi Terkenal Itu Menakutkan

Sebagai seorang penulis, saya tidak asing dengan aktivitas branding atau marketing. Akun-akun medsos saya bisa diakses publik tanpa dikunci. Bahkan, saya juga membuat channel Telegram untuk menjangkau lebih banyak audiens. Saya tidak pernah merasa terkenal.

Sampai di beberapa kesempatan, saya disapa beberapa orang yang mengikuti medsos saya. Itu juga terjadi tidak hanya saat saya sendiri, contohnya ketika saya sedang ngobrol seru dengan sahabat di sebuah kafe.

Meskipun karakter saya ekstrovert dan suka menambah teman baru yang positif, ternyata ada rasa kaget ketika disapa oleh kawan dari medsos. Kadang muncul pertanyaan di pikiran, "Apakah saya yang di dunia nyata ini masih sama bagusnya di mata mereka seperti bayangan di medsos?"

Tidak Selalu Nyaman Jika Dikenali

Ketika cuitan saya di medsos mengundang banyak reaksi, positif atau negatif, saya sudah stres duluan. Apa yang saya nyatakan dan bangun di medsos itu memang bagian diri. 

Akun medsos yang khusus saya gunakan untuk branding sebagai penulis pun semua isi kontennya tidak saya bangun dengan kepura-puraan. Nyatanya, ketika respons yang saya terima tidak selalu sesuai keinginan, lumayan membebani juga, ya?

Bayangkan susahnya menjadi figur publik yang bernapas saja bisa dikritik. Salah sedikit bisa menjadi bulan-bulanan warganet. Apalagi kalau sampai seperti selebritis Korsel yang hidupnya tidak aman karena dikejar sasaeng (fans fanatik dan obsesif). Ketenaran bisa menjadi mimpi buruk.

Tanggung Jawab Super Besar

Melihat pengalaman saya yang biasa-biasa ini dalam membangun personal branding di medsos, saya akhirnya bisa mengambil kesimpulan.

Apapun yang kita bagikan, ucap, dan katakan di media sosial membutuhkan tanggung jawab penuh dari diri kita.

Tidak peduli kamu menggunakan akun dengan nama pena dan bukan foto asli, tetapi coba cek lagi seperti apa hal-hal yang kamu sukai, bagikan, dan komentari di medsos. Ini menunjukkan masalah di dalam dirimu sendiri. Ketika kamu tidak mau bertanggung jawab dengan isi ketikanmu, ini bisa menjadi bumerang, tidak peduli kamu tidak menggunakan nama atau foto asli.

Sudah tidak sekali saya melihat akun bodong yang akhirnya disomasi atau dituntut karena keasyikan mengetik serampangan di medsos. Mau tidak mau akhirnya pemilik aslinya muncul di muka publik untuk meminta maaf. Jejak digital itu kejam dan sulit dihilangkan.





Mengambil yang Baik, Buang yang Buruk

Fangirling atau fanboying itu bukan hal yang salah. Memiliki idola adalah hal yang lumrah dan bisa membuat kita bahagia di waktu luang. Ada pelajaran-pelajaran penting yang saya peroleh dari para idola juga.

Merajut Kualitas Baik

Saya memiliki beberapa idola karena mereka figur publik yang brilian dalam berakting, sangat cerdas, atau kepribadian yang baik. Hal-hal baik semacam hobi membaca dari idola membuat saya semangat untuk berburu buku baru.

Apa yang idola saya tonton dan ternyata terlihat bagus atau menambah wawasan, tentu saja akan saya simak. Kualitas baik dari mereka akan saya selami lalu saya pilah lagi sebab tidak semua hal yang mereka lakukan tentu akan cocok dengan gaya hidup saya saat ini.

Memberi Jarak

Selalu ada jarak yang saya berikan ketika mengidolakan. Ada salah satu bintang yang sangat saya gemari karyanya sejak remaja lalu ternyata ia menjadi orang yang kepribadiannya culas. Kecewa memang, tetapi tidak sampai merusak mood saya sehari-hari sementara fans lain sampai sedih berlarut.

Saya paham ada hal yang pastinya tidak saya ketahui dari seorang bintang terkenal. Mereka juga manusia biasa. Kalau ada saatnya saya tidak bisa menolerir sikap mereka, kecewa sedikit, lalu melanjutkan aktivitas lagi. Toh, ada kualitas-kualitas baik dari mereka yang sudah saya pelajari. Saya melihat realita, bukannya pemuja yang sampai lupa mencintai diri sendiri.

Pasti akan ada yang bilang, seharusnya kita tidak perlu mengidolakan sesama manusia, cukup Tuhan saja. Ah, ini sudah pasti. Namun, apalah saya yang juga manusia biasa untuk mendikte tindakan fans lain. Bagaimana denganmu? Apakah kamu siap belajar dari idola tanpa kehilangan jati diri? 











Tidak ada komentar