Ketika Bicara Soal Memberdayakan Anak dan Remaja

 




Benarkah memberdayakan anak dan remaja itu sama dengan memberdayakan bangsa? Menurut saya ini penting. Bagaimana dengan frasa sama dengan ‘memberdayakan bangsa’? Tentu saja saya setuju. Kalau generasinya kuat, bukankah ini menguntungkan kita semua?

Seperti halnya yang dilakukan organisasi nirlaba Carismaperu. Kunjungi website Carismaperu agar tahu betapa pentingnya sumbangsih dari masyarakat dalam mendukung pemberdayaan anak-anak dan remaja. Tidak hanya pendidikan, tetapi juga dukungan lainnya.

Saya sendiri belum menjadi seorang ibu, maka saya berbicara dari sudut pandang seorang anak yang punya privilese orang tua yang mendukung saya dan adik sehingga bisa mencapai potensi terbaik kami. Mungkin ini bisa menjadi sebuah catatan bahwa istilah ‘memberdayakan’ tidaklah harus menjadi sebuah hal yang sulit pelaksanaannya.

 

Salah Kaprah Soal Dukungan Orang Tua

Saya memiliki kawan yang di mata saya hidupnya enak. Dia punya ayah yang gajinya puluhan juta dan tiap anak sudah dibuatkan rumah. Sebagai seorang anak dari keluarga menengah, saya tahu diri jika saya ini dibentuk menjadi perintis, bukan pewaris.

Lucunya, kawan saya ini sangat bermasalah dengan salah satu orang tuanya dan merasa jika keluarga yang saya miliki adalah keluarga yang sangat ia idamkan. Saya jadi terhenyak dan merenung.

Uang Itu Penting, Kualitas Hubungan Lebih Penting

Tanpa memiliki jadwal paten, kedua orang tua saya memiliki kebiasaan untuk sesekali berpiknik bersama. Tidak ada uang banyak pun tidak jadi masalah. Papa dan Mama mengajak saya dan adik untuk lesehan makan dengan bekal sendiri di sebuah tempat lapang dan sejuk.

Ketika tidak berpiknik pun, saya dan adik akan diminta untuk menceritakan keseharian kami. Dukungan yang ditujukan pada kami tidak hanya soal materiil, tetapi juga secara mental. Uang memang penting, tetapi anak dan remaja yang tumbuh tanpa diakomodasi soal perasaannya, hanya dituntut sempurna, bukankah itu melelahkan?

Orang Tua Seperti Bos

Koar-koar mau membentuk anak yang baik dan punya masa depan cerah, malah membuat orang tua bertindak seperti bos. Saya juga sering menjadi tempat curhat kawan sejak remaja bagaimana stresnya hidup mereka karena harus belajar topik tertentu sampai mimisan, padahal mereka tidak suka.

Nantinya, kalau anak sudah tumbuh dewasa dan bekerja, si orang tua ini berubah jadi Tukang Palak yang mewajibkan anak memberi dengan nominal tertentu tanpa pernah menghargai sedikit pun.

 


Pemberdayaan Itu Dukungan Semua Aspek

Saya tidak mau bicara muluk-muluk kalau sebenarnya pemerintah punya andil besar dalam tugas mendidik dan mengembangkan anak serta remaja. Mari kita bicara dari level keluarga saja. Berkaca dari keluarga saya sendiri dan cerita sedih kawan-kawan saya, kesimpulan ini pun muncul di pikiran.

Orang Tua Seharusnya Membereskan Beban

Banyak orang tua yang terpapar cara dan gaya pendidikan yang salah dari orang tua mereka sebelumnya. Bagusnya, sih, kalau mereka sadar lalu mengubah. Yang sedih adalah ketika trauma generasi itu tidak diubah lalu diteruskan ke anak-anak.

Jadi, buat saya dan juga kamu yang sekarang akan atau sudah menjadi orang tua serta membaca artikel ini, segera sadari apa saja yang salah dari gaya pendidikan orang tua kita. Jangan menyalahkan, maafkan, sekaligus juga obati luka di hati kita sendiri.

Bereskan beban dan residu negatif itu, jika ada dananya cobalah berkonsultasi ke psikolog atau psikiater. Jadilah orang tua yang tidak membawa beban emosional sehingga anak dan remaja yang kita asuh pun jadi hidup dengan pikiran yang lebih sehat.

Ajarkan Kemandirian Bukan Hanya Soal Nilai Ujian

Pendidika itu memang penting, tetapi jangan pernah menuntut anak untuk sekolah atau kuliah sesuai kehendak orang tua sampai semangat hidup layu apalagi kalau sampai punya masalah mental health.

Orang tua tidak seharusnya membedakan anak laki-laki dan perempuan. Semuanya harus dilatih untuk mandiri dan minimal bisa membersihkan rumah sendiri. Orang tua pun seharusnya wajib menjadi teladan soal perilaku, adab, cara bergaul, hingga cara berpikir. Mau anaknya rajin membaca dan belajar, tapi orang tua sibuk main TikTok ya percuma.

 

Inilah sedikit pendapat saya tentang memberdayakan anak dan remaja. Bukan tips, melainkan pendapat yang berkecamuk di kepala saya setelah sering jadi tempat bercerita. Apakah kita siap menjadi orang tua? Sadari dan pahami diri terlebih dulu, mari mengakui dan belajar kembali.

1 komentar

fanny Nila (dcatqueen.com) mengatakan...

Aku sempet takut punya anak, Krn kuatir ga bisa mendidik yg benar. Apalagi kalo ingat cara ortu ku dulu mendidik kami pakai sistem satu arah, jadi kayak males punya anak.

Ortu sih baik, tapiiii mereka ga kenal sistem diskusi. Pokoknya apa yg dibilang, ya harus nurut, ga usah tanya kenapa. Aku pengeeen bgt masuk jurusan IPS, dimarahin abis2, wajib IPA. Aku pengen kuliah perhotelan, atau sastra, diomelin pagi, katanya mau jadi apaan. JD itu semua bikin aku susah utk Deket Ama ortu.

Makanya pas selesai kuliah, aku LGS JKT, sejauh mungkin dr mereka. Krn hubungan kami baik saat jauh, tp memburuk kalo Deket.

Setelah akhirnya punya anak, aku ga pengen pake cara yg sama. Apapun yg mau kami lakuin, aku diskusikan ke anak. Kayak mau ikut les apa.. sukanya apa, ntr liburan tengah tahun enaknya kemana, itu semua aku tanya pendapat anak2. JD mereka terbiasa utk share pikiran nya. Dan JD terbuka. Krn aku liat sendiri, aku pun ga terbuka blaaaas Ama ortu, Krn takut ditolak. JD aku ga pengen anak2ku ngalamin hal yg sama.