Lambat Itu Tidak Apa-Apa


Kita hidup di dunia serba cepat. Saya menyadari ketika mulai banyak unggahan di medsos semacam X yang menyatakan sudah dapat berapa rupiah tabungan di usia 25, target menikah usia berapa, dan segudang pernyataan lain. Padahal, menjadi lambat itu tidak apa-apa.


Saya baru saja berulang tahun pada 29 September lalu. Usia terus bertambah dan cukup untuk menikah, tetapi masih dianggap kurang oleh beberapa orang. Meskipun saya telah menerbitkan 24 judul buku dan berhasil mencapai hal lain, beberapa orang masih mengganggap jika saya ini patut dikasihani hanya karena BELUM MENIKAH.


Sebuah ironi sebenarnya, mengingat jika ada yang meninggal ketika usianya belum mencapai 35, dianggap mati muda. Menjadi perempuan di tengah masyarakat yang masih menganggap bahwa menikah adalah sebuah pencapaian itu tidak mudah. Saya sih sudah bisa mengabaikan, hanya saja heran dengan tidak kreatifnya pertanyaan yang disampaikan.


Late Bloomer Itu Keren

Saya menemukan istilah ini di medsos  yaitu ‘late bloomer’. Definisinya adalah pencapaian akan sesuatu di usia yang lebih dewasa ketika orang lain bisa mencapainya di usia lebih muda. Salah satu yang saya alami adalah baru bisa jalan-jalan bebas ke mana saja ketika baru bekerja. Saya pun baru ke negeri tetangga pada 2019 di saat teman-teman lain sudah mencapai Eropa atau umroh sekeluarga.


Dulu, gaya berpakaian saya kasual dengan jins dan kaus atau blus. Saya suka berdandan menggunakan dress dan padu padan fesyen, tetapi uang saku mepet, jadi saya fokus untuk beli buku dan belajar. 


Ketika masih kuliah, saya suka mengamati pakaian cantik dari teman-teman yang saya temui. Hobi melihat artikel fesyen masih saya jalani apalagi saya menggemari acara beauty pageant seperti Putri Indonesia, Miss Universe, dan Miss Supranational sejak kecil. Jadi, bisa dibilang, padu padan pakaian sudah merasuk di hati selain soal buku dna bahasa asing.


Sekarang, banyak teman-teman perempuan yang menyukai cara saya memilih dress. Bahkan, ada juga yang berkonsultasi tiap kali mau membeli pakaian. Ini contoh proses seorang ‘late bloomer’ yang menurut saya membahagiakan apalagi untuk hal lain seperti bertemu jodoh.


Mungkin kita butuh waktu lebih lama dari kebanyakan orang agar bisa berproses lebih maksimal. Ketika diri ini mekar pada waktunya, bahagianya pun tidak kurang. Saya pun semakin sering menemukan konten tentang orang-orang usia 60 hingga 80 tahunan yang masih sehat berolahraga dan mencapai impian mereka semacam kuliah dan membangun bisnis. Salah satu murid menulis saya ada yang usianya 50 sampai 60-an tahun, lho.


Late Bloomer adalah frasa yang bagus. Ini lebih penting untuk digaungkan daripada hanya mendorong seseorang terus berprestasi sampai lupa merawat kewarasan dirinya sendiri.


Agar Menikmati Proses 

Apakah kamu pernah membaca konten tentang orang-orang sukses sebelum usia 30 tahun? Memang di dalam daftar itu dipenuhi dengan orang-orang cerdas dan berbakat di beragam bidang. Bahkan, di medsos, kita mudah menemukan konten orang-orang yang punya tabungan sekian sebelum usia 40 atau bisa traveling ke banyak negara di usia 20-an.




Melihat begitu banyak pencapaian yang mudah kita akses di medsos pasti lama-kelamaan akan menimbulkan keinginan dalam hati agar bisa menyamai mereka. Saya pun begitu. Ini adalah hal manusiawi. Apalagi jika kamu adalah seorang perempuan, maka tuntutannya akan bertambah lagi mulai dari kapan nikah, jika sudah menikah akan ditanya kapan punya anak dan sebagainya.


Lomba cepat-cepat sampai tujuan ini membuat ilusi di otak kita agar terus belajar dan bergerak sampai lupa rehat.


Kita jadi lupa keindahan menikmati proses. Akibatnya, terciptalah pemikiran serba instan. Banyak orang jahat memanfaatkan pemikiran instan ini dengan membuat kelas ‘Cara Cepat Dapat Cuan dengan….’ hingga pamer penghasilan di medsos demi menarik audiens.


Saya mengamati tren tersebut hingga akhirnya memutuskan untuk menggunakan cara berbeda di tiap promosi kelas menulis. Saya lebih suka berbagi tentang asyiknya proses belajar, apa yang sedang ditekuni, dan testimonial kelas. Rasanya, tidak etis saja jika membuka pemasukan di medsos karena saya tidak ingin menciptakan ilusi. Semua pencapaian itu butuh disiplin, latihan, kegagalan, dan komitmen. (Baca Juga: Algoritma Media Sosial Bekerja Seperti Otak Kita)


Kalau kamu membaca sampai di penghujung tulisan ini, selalu ingat bahwa lambat itu tidak apa-apa. Kamu boleh mencoba banyak hal, tetapi beri waktu untuk menekuni dan fokus. Kamu tidak perlu harus seperti orang lain yang prosesnya cepat. Memangnya mau mengejar apa? Kalau kamu stres hingga burnout, siapa yang rugi? Love yourself, save yourself. Baca juga buku saya '22 Ways to Self Love' di Gramedia Digital, ya.



4 komentar

Fanny Nila (dcatqueen.com) mengatakan...

Setuju banget mba 👍👍. Dengan begitu mudahnya akses dari media sosial, banyak pasti yg merasa hidupnya tertinggal hanya krn tidak bisa menyamai keberhasilan orang2 lain. Seremnya jd tergoda utk melakukan hal menyimpang demi bisa seperti temen2nya yg sukses.

Aku pun pernah sempet iri ama temen2 ku yg udah punya rumah mewah, kerjaan bagus di oil company, padahal prasaan jaman sekolah bukan termasuk yg pinter2 amat.

Tp pada akhirnya aku sadar kok, jalan yg aku lalui toh ga sama dengan mereka. Ga mungkin hasilnya juga begitu. Lagian dipikir, mungkin tabunganku ga segede temen2, rumah ga semewah mereka, tp tiap thn aku bisa ngelakuin passionku traveling. Dan itu aja udah bikin bahagia bangettt. Dan aku jd merasa cukup.

Toh pd akhirnya yg diinginkan semua orang bisa bahagia kan. Kalo traveljng bisa bikin aku merasa lebih hidup, ya aku bakal fokusnya kesana. Ga lagi mikirin pencapaian lain yg hanya meniru orang2.

Reffi Dhinar mengatakan...

Iyaa bener banget, mbak. Aku pun juga begitu. Lihat teman udah begini begitu, penulis udah difilmkan karyanya dll, ternyata masih aja bisa menimbulkan envy wkwk, tapi syukurlah sekarang sudah di tahap bisa menerima dan fokus sama apa yang ada di diri buat ditingkatin lagi, manusia mah wajar hatinya mleyot ke sana kemari hahaha

Admin mengatakan...

Masyaallah. Menarik sekali artikel ini. Saya setuju banget mba, ketimbang membagikan screen shot penghasilan, atau menginfokan penghasilan saya sudah mencapai dua digit untuk menarik audiens. Alangkah lebih nyaman jika yang dibagikan asyiknya proses belajar. Manfaat kelas, testimoni dan proses yang tidak instant. Lebih manusiawi. Bukan result oriented.

Reffi Dhinar mengatakan...

Betuul, memang lebih enak kalau fokus pada hal yang masuk akal. Mencapai sekian juta dll itu kan nggak mungkin semudah ngedipin mata. Mental audiens harus dibentuk sejak awal 😁