Belajar Menulis Itu Penting Seperti Pelajaran Eksakta




Pernah tidak kamu mendapat pesan semacam ini dari orang asing di WhatsApp?

“P”

Padahal yang namanya BBM itu sudah punah, tapi masih saja ada orang yang mengirim huruf ‘P’ lewat WhatsApp bukannya salam dan ucapan perkenalan. Yang berada di bawah levelnya adalah hanya menyebut “Kak” tanpa ada lanjutan. Sudah dibalas pun tidak segera direspons sampai esok harinya. Padahal konteksnya belum kenal sama yang mengirim pesan.

Saya masih sering menemukan opini bahwa menulis itu membuat pusing. Salah satu rekan kerja saya dulu bahkan sampai lembur berjam-jam hanya untuk menyusun laporan karena bingung menyusun kata-kata. Sedih saja melihatnya padahal Bahasa Indonesia itu sudah menjadi bahasa nasional yang dipelajari di berbagai negara, kenapa kita warganya sendiri malah senewen ketika diminta untuk menulis dalam bahasa Indonesia?

 

Eksakta Selalu Jadi Juara, Bahasa Indonesia Nomor Dua

            Saya mau merujuk kembali ke pengalaman ketika masih SD hingga SMA. Dulu, nilai Matematika dan Bahasa Inggris saya jauh lebih tinggi dibandingkan Bahasa Indonesia ketika lulus Ujian Nasional SD. Orang tua pun sangat bangga ketika melihat nilai Matematika saya hampir 100. Kalau tidak salah ingat, Bahasa Indonesia dapat 8.

            Menguasai Bahasa Inggris dan jago ngobrol sejak kelas 5 SD pun membuat banyak orang kagum. Teman-teman sekelas begitu salut dengan skill cas cis cus tersebut. Jujur saja, jauh di dalam lubuk hati, saya sangat bangga ketika cerita-cerita yang saya tulis dalam Bahasa Indonesia dibaca oleh guru hingga teman-teman mau antre untuk membeli cerita pesanan mereka.

            Selain itu, saya sangat gembira ketika menjadi juara mendongeng dalam Bahasa Indonesia saat masih Sekolah Dasar. Ketika duduk di bangku SMP, saya merasa istimewa saat menjadi juara umum kedua di kompetisi resensi film. Lagi-lagi prestasi menulis dalam Bahasa Indonesia. Namun, gegap-gempitanya masih kalah gaungnya dengan peraih prestasi lomba sains. Ditambah lagi pendapat orang tua saya ketika SMA, “Belajar yang rajin supaya bisa masuk kelas Sains, jangan Sosial.”

            Dipikir lagi, kenapa, ya, Bahasa Indonesia seolah menjadi anak tiri dibandingkan mata pelajaran eksakta atau bahasa asing? Saya akui, dulu saya menganggap pelajaran Bahasa Indonesia itu membosankan. Makanya, ketika kuliah pun saya memilih Sastra Jepang. Justru ketika saya mulai terjun sebagai penulis profesional, saya tahu jika saya harus belajar lebih banyak lagi soal penyusunan kalimat dan ejaannya dalam Bahasa Indonesia.

 

Logika Berantakan dalam Tulisan Bahasa Indonesia

Suatu hari, saya mendapat surel penolakan dari cerpen yang saya kirim. Saya tidak bisa melupakan surel tersebut karena editonya membuat catatan, “Pelajari cara membuat kalimat langsung. Logika kalimat di paragrafnya juga perlu diperbaiki.”

Bertahun-tahun menjadikan aktivitas menulis sebagai hobi ternyata tidak serta-merta membuat saya langsung mendapat pujian. Prestasi zaman SD sampai SMP rasanya tidak jadi berharga. Saya sampai pada satu titik yaitu merasa perlu belajar banyak tentang Bahasa Indonesia. Itulah sebabnya, saya mengikuti kelas-kelas menulis dari berbagai komunitas. Geli juga kalau memikirkan bahwa saya dianggap smart karena bisa berbahasa Inggris dan Jepang, tetapi perlu ikut banyak kelas menulis dalam Bahasa Indonesia

            Saya harus belajar tentang sintaksis, mengutak-atik PUEBI, dan terus mencari tahu bagaimana cara menulis yang benar agar pembaca tidak bingung. Tanpa sadar, belajar menulis dan mendalami lebih banyak mengenai Bahasa Indonesia, membuat pikiran saya lebih terstruktur.

Kemampuan menulis dalam Bahasa Indonesia ini terasa manfaatnya ketika saya bekerja. Lulus dari Sastra Jepang, saya bekerja sesuai impian sejak masih SMA yaitu menjadi penerjemah Bahasa Jepang. Di kantor, saya bertugas untuk menerjemahkan secara lisan atau tertulis dari Bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia (berlaku juga sebaliknya). Tebak apa yang membuat kawan penerjemah saya harus bekerja lebih lama ketika menerjemahkan dokumen? Menyusun kalimatnya agar mudah dibaca dalam Bahasa Indonesia.

Mengirim surel bisnis kepada klien atau menyusun laporan juga menjadi bagian dari pekerjaan. Saya tidak menemui kendala berarti sampai akhirnya saya mengetahui beberapa rekan kerja di divisi lain bilang kalau kepalanya mau meledak karena pusing menyusun kalimat untuk laporan bulanan. Menulis menjadi sebuah momok bagi beberapa orang di kantor saya.

 


Seharusnya Masuk Mata Pelajaran Utama

            Kepala saya pusing ketika harus membaca surel dari rekan bisnis kantor yang terlalu bertele-tele. Saya juga sering dimintai pendapat oleh rekan kerja yang gugup menekan tombol ‘kirim’ di surelnya jadi saya diminta untuk memeriksa kalimat yang diketik. Akhirnya, saya menemukan sebuah kesimpulan. Seharusnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia diberikan branding sama pentingnya dengan pelajaran eksakta dan Bahasa Inggris.

            Sekolah seharusnya mulai memikirkan tentang bagaimana cara yang asyik agar para siswa tidak bosan ketika belajar Bahasa Indonesia. Misalnya, mereka diminta untuk membuat tulisan kepada atasan, guru, atau idola yang saat ini digemari. Kalau melihat situasi yang ada di film Hollywood atau membaca pengalaman mahasiswa di luar negeri, menulis esai menjadi bagian penting aktivitas belajar di sana.

            Dalam pelajaran Sains atau Sejarah, siswa diminta untuk membuat esai tentang hasil penelitian mereka. Kalau kita mau mendapat beasiswa LPDP contohnya, kita juga perlu belajar menulis esai. Saya pernah iseng belajar menulis untuk percobaan tes IELTS. 300 kata rasanya mudah sekali saya buat. Namun, mentor saya membuat catatan merah dengan kalimat, “Kamu terbiasa menulis bertele-tele tanpa pesan utama. Ini memang kelemahan kita dalam Bahasa Indonesia. Jangan diterapkan buat esai Bahasa Inggris.”

            Ternyata kemampuan saya menulis artikel Bahasa Indonesia ini masih banyak kurangnya. Karena kritik dari mentor IELTS, saya pun belajar teori ‘plain language’ yang mengubah cara saya menulis artikel. Semakin mendalami, rasanya Bahasa Indonesia semakin asyik untuk dipelajari.

            Menulis adalah cara yang baik untuk merapikan struktur berpikir dan menyampaikan pesan yang sulit kita sampaikan secara verbal. Semoga saja kalau ada menteri pendidikan yang baru, selain pilihan ganda tetap dipertahankan, tolong murid-murid ini diajari cara menulis yang baik supaya tidak ada lagi yang mengetik “P” di chat WhatsApp.

(Baca Juga: Ini Hasil Menjadikan Hobi Membaca Buku Lebih Sedikit)

4 komentar

Iqbal mengatakan...

Saya sepakat dengan isi tulisan ini dan memiliki keresahan yang sama. Saya akui dulu saya menilai pelajaran bahasa Indonesia tidak se-"bergengsi" pelajaran Matematika dan IPA. Ternyata keliru, kemampuan berbahasa mencerminkan isi pikiran. Dan seperti ditulis di postingan ini bahwa aktivitas menulis akan melatih pola pikir.

Bang Day | Bede mengatakan...

Guru BIndo di SMP saya pernah bilang keheranannya. Murid2nya nilai english bagus2 eh Bindonya malah rendah. Bingungkan

Ainun mengatakan...

aku sering mendapat kiriman chat yang tertulis "P" aja. Dan nggak aku bales.
Kadang ada temen ngirim chat cuman "Test", apalagi ini makin ga aku bales

di kantorku, masih ada temenku yang bikin surat aja nggak bisa, dalam artian penyusunan kata-katanya. aku sendiri heran, padahal kalau mau usaha, di google juga banyak contohnya bikin surat pengajuan yang sederhana. Asal tahu inti dari masalah yang akan ditulis dalam surat itu, harusnya mudah. Tapi tiap orang beda-beda ya, ada yang nggak mau belajar buat jadi lebih baik

Fanny Nila (dcatqueen.com) mengatakan...

Setuju mba. Mentang bahasa ibu itu bahasa Indonesia, bukan berarti disepelein , dianggap udah pasti bisa.

Padahal banyak anak skr yg ga paham cara menulis pesan sopan di chat, apalagi bikin laporan, surat atau artikel lainnya . Itu yg aku ga mau kejadian di anakku juga. Tiap chat aja, aku kritik dulu kalo ada kata2 ga sopan atau kekurangan lain. Krn aku mau mereka paham etika menulis. Baru nanti diperdalam dengan ilmu menulis lainnya.