Walking tour bulan ini saya lakukan di Malang. Meskipun termasuk kota tetangga yang sering saya kunjungi, ketika Rumah Budaya Sidoarjo mengumumkan acara Uklam Uklam Kota Ngalam, saya gercep langsung daftar. Acara tersebut juga bekerjasama dengan teman-teman mahasiswa dari Universitas Negeri Malang.
Semenjak rajin ikut acara walking tour di Surabaya dan Sidoarjo, saya punya keinginan untuk mencoba di Malang. Namun, belum ada kesempatan. Alasan saya ingin sekali ke sana adalah udaranya lebih sejuk dan masih ada tempat-tempat yang belum saya kunjungi. Maklum, anak Sidoarjo sudah hampir menyerah sama cuaca panasnya, hiks.
Seru banget. Hanya dengan membayar biaya sebesar 150 ribu, peserta mendapat tote bag yang berisi snack dan air mineral, transportasi, serta makan siang. Kami juga pastinya mendapat asupan cerita dari storyteller di masing-masing tempat bersejarah. Tak lupa saya membawa topi dan payung untuk menghindari teriknya matahari serta jaga-jaga karena Malang sudah sering hujan. Yuk, saya ceritakan tujuan kami satu-satu.
Mengulik Cerita di Balik Kerajaan Singosari
Siapa yang tidak kenal Ken Arok dan Ken Dedes? Kisah mereka termasuk sangat melekat di benak semenjak belajar mengenai Kerajaan Singosari di bangku SD. Saya ulas sedikit, ya, supaya segar lagi.
Ken Arok (1222-1227 M) adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Singosari. Sebagai raja, Ken Arok bergelar Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi. Namanya juga kerajaan, pasti tidak lepas dari intrik politik dan perebutan kekuasaan. Kisah pendirian Singosari sampai masa pemerintahannya juga sangat dramatis dengan pertumpahan darah.
Yang saya kunjungi bukanlah tempat pendarmaan Ken Arok, melainkan dua tempat yang berkaitan dengan salah satu keturunannya dan juga tempat Ken Arok bertemu Ken Dedes pertama kali.
(Baca Juga: Jalan-Jalan Satu Hari di Kota Malang)Candi Singosari
Tujuan pertama acara Uklam-Uklam adalah Candi Singosari yang berlokasi di Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Malang. Jujur saja, ini pertama kalinya saya berkunjung ke sana. Pelataran candi tidak luas, tetapi kalau melihat patung Dwarapala yang seharusnya menjadi penjaga gerbang, mungkin dulunya area candi lebih luas.
Candi Singosari |
Candi Singosari adalah tempat pendarmaan Raja Kertanegara yang membawa kerajaan Singosari ke masa kejayaan. Candi ini dibangun sekitar tahun 1300-an pada masa kerajaan Majapahit bersamaan dengan Candi Pari di Sidoarjo.
Rombongan ceria |
Happy face |
Pengunjung tidak boleh naik ke candi karena masih digunakan untuk ibadah. Untuk menyusun candi, para pendiri zaman dahulu menggunakan batu andesit. Di area yang terpisah dari candi Singosari ini terdapat arca Dwarapala raksasa. Biasanya Dwarapala ini ukurannya sedang, tetapi ini sangat besar.
Dwarapala-nya terpisah |
Dwarapala letaknya tidak jauh dari Candi Singosari. Jumlahnya ada dua di lokasi berseberangan. Sebenarnya Dwarapala dibuat sebagai penjaga area candi, kelihatannya sekarang terpisah areanya, tapi dulu mungkin areanya sangat luas. Hanya tersisa arca dan candi utama. Setelah puas berkunjung di area candi, kami menuju lokasi berikutnya.
Pemandian Watugede
Sebenarnya, kami tidak ada rencana ke pemandian ini. Hanya saja karena masih satu arah dan ada hubungannya dengan Kerajaan Singosari, panitia memutuskan untuk mampir ke sana. Pemandian Watugede disebut-sebut sebagai tempat Ken Dedes mandi. Ken Arok mengintip dan jatuh hati padanya.
Kalau zaman dulu pasti aksesnya sulit |
Tidak ada tiket masuk saat kami ke sana. Lokasi petirtaan atau pemandian tidak bisa dilihat dari pinggir jalan. Kita harus menyusuri jalan menurun. Setelah saya sampai di tepi petirtaan, saya merasa seperti di dimensi lain. Suhu udaranya sejuk dengan pepohonan yang menghalangi sinar matahari.
Bayangkan putri-putri kerajaan di sini |
Saya menyempatkan diri untuk duduk beberapa menit sambil mencelupkan kaki di kolam pemandian. Imajinasi saya melayang membayangkan situasi ratusan tahun lalu ketika dalam kisahnya dinyatakan jika Ken Dedes bertemu dengan Ken Arok pertama kalinya di sini.
Mungkin dulu kawasan pemandian dipenuhi pepohonan tinggi yang berjajar merapat. Lokasinya pasti agak jauh karena tempat pemandian para putri pasti tidak mudah diakses orang sembarangan. Setelah puas berfoto-foto, kami lanjut ke tempat berikutnya.
Tempat-tempat yang Menjadi Saksi Budaya Tradisional & Sejarah Kolonial
Di tiga tempat berikutnya, saya menikmati suasana budaya tradisional sekaligus kolonial yang punya kisahnya masing-masing. Adakah di antara kamu yang sudah mampir ke Wisma Tumapel dan Kambung Budaya Polowijen?
Kampung Budaya Polowijen
Gerimis kecil menyambut kami ketika turun dari mobil. Lokasi parkir dekat Kampung Budaya Polowijen ini menarik karena dekat dengan area pemakaman. Saya berjaga-jaga membawa payung mini kalau saja hujan menyapa di tengah jalan. Karena waktu itu di Sidoarjo belum hujan, disapa gerimis kecil membuat perasaan tenang.
Di dekat area pemakaman tempat mobil rombongan saya parkir, terdapat makam Mbah Reni, seorang seniman dan tokoh tari topeng yang berjasa mempopulerkan kesenian tersebut pertama kali di Malang.
Kami berjalan melalui gang kampung lalu menyeberangi jalan yang diapit sawah hingga sampai situs Sumur Windu. Meskipun dikatakan sebagai sumur, kami tidak menemukan bentuk sumurnya karena sudah didirikan bangunan di atasnya hingga airnya bisa dinikmati dari keran.
Iseng saya mencari tahu sejarah Sumur Windu ini. Tempat tersebut juga disebut sebagai Petilasan Ken Dedes. Kampung Polowijen sendiri juga disebut sebagai daerah asal Ken Dedes yang dulunya dinamai Panawijen. Pendapat tersebut dikutip dari Buku Pararaton karya Drs. R. Pitono Hardjowardojo.
Mampir di Sisa Bangunan Kolonial
Malang punya banyak bangunan bersejarah yang terawat. Karena kawasan Malang berada di dataran lebih tinggi daripada Surabaya, makanya dulu banyak dibangun tempat peristirahatan. Kalau sekarang sih katanya termasuk lebih panas, ya (walau bagi saya tetap sejuk).
Ini udah lumayan dirawat |
Ketika jalan-jalan sendirian ke Malang, saya sempat ingin ke Wisma Tumapel, tetapi kalau ke sana tanpa ada petunjuk atau pencerita, rasanya kok kurang pas. Makanya, ketika acara Uklam-Uklam Rumah Budaya Sidoarjo ini diumumkan dengan salah satu tujuannya ke Wisma Tumapel, saya jadi lebih bersemangat.
Lantai 2 Wisma Tumapel |
Bagus kali, ya, kalau pakai baju ala Noni Belanda |
Meskipun Wisma Tumapel ini berdiri pada 1928, tempat ini buka tempat peristirahatan tertua di Malang. Hotel tertua di Malang yang berdiri sekitar tahun 1890-an adalah Hotel Niagara. Wisma Tumapel disebut sebagai tempat termegah di Malang pada era kolonial untuk orang-orang pejabat tinggi Hindia-Belanda.
Lalu setelah pemerintah Hindia-Belanda pergi, bangunan ini terbengkalai dan sempat dianggap angker. Satu ruangan sangat luas. Di dalamnya terdapat kamar mandi yang dilengkapi bath tube dan ruangan lain.
Bangunannya sempat terabaikan hingga super kumuh sampai sama Universitas Negeri Malang melakukan perbaikan sehingga bisa dikunjungi. Ketika di sini, saya bertemu banyak anak muda yang sedang hunting foto. Bangunan tua memang selalu punya pesona. Wisma Tumapel dulu diberi nama Splendid Inn dan nama tersebut digunakan di hotel seberang Wisma Tumapel.
Di Hotel Tugu, banyak arca dan prasasti asli |
Klasik di Hotel Tugu, suka banget! |
Kami sempat mampir ke Hotel Tugu untuk melihat beberapa arca yang disimpan di bagian dalam hotel. Lalu sampailah kami di tujuan terakhir di kawasan Heritage Kajoetangan. Ini kali kedua saya kemari. Senangnya kalau pergi bersama rombongan tentu saja akan ada kawan yang mau mengambil foto.
Spot-spot di Kajoetangan |
Setelah beberapa kali berkunjung di kafe favorit saya yang ada di Kajoetangan, saya baru tahu kalau dulu di dekat jalan rayanya hanya ada 12 rumah. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak pejabat Tionghoa, sementara ketika masuk semakin ke dalam, sudah termasuk area kampung dan hutan zaman dulu. Setelah membayar tiket sebesar 5 ribu rupiah, kita akan mendapat satu photocard dari objek menarik di Kajoetangan.
Hi, Mpus |
Wisata sejarah di kota Malang sambil jalan-jalan begini memang sangat asyik. Keinginan kecil saya terpenuhi bulan ini. Semoga Rumah Budaya Sidoarjo mengadakan acara lain yang tidak kalah serunya. Let’s walk!
(Baca Juga: Menginap di Shanaya Resort Malang)
1 komentar
Cantiiiik banget malang skr 😍😍. Udh lama aku ga kesana mba. Trakhir 2013.
Sukaaaa kalo walking tour gini. Kdg di LN drpd keluyuran ga jelas, aku sering tuh cari free walking tour atau yg berbayar juga gapapa. Jadinya enak Krn ada guide yg jelasin, kita juga JD paham kan, drpd Googling sendiri tapi ttp ga detil penjelasannya
Tempat pemandian Ken Dedes aku pun jadi bayangin suasana zaman dulu. Itulah kenapa suka ngayal seandainya bisa melihat masa lalu ya mba, pengen tahu kehidupan raja2 kuat dan terkenal di masa itu ❤️❤️
Posting Komentar