Saya pernah menerima pertanyaan begini, “Kak Reffi itu sebenarnya generalis, ya? Expert-nya di bidang apa? Atau semuanya setengah-setengah?”
Pertanyaan tersebut tidak salah juga, sih. Di kantor, saya dikenal sebagai staf yang menggunakan bahasa Jepang, sedangkan di dunia maya, saya lebih dikenal sebagai penulis. Itu pun jenis tulisan yang saya kerjakan dan menjadi penghasilan sampingan juga beragam. Saya menulis novel, non-fiksi, content writing, copywriting, sampai menjadi seorang writing coach.
Padahal sudah sering saya sebut jika label saya adalah Wordholic. Jadi, saya yang menjadi penggemar bahasa asing dan menulis, memilih untuk tidak terlalu membatasi diri. Apa yang saya seriusi dan pelajari itu semua saya tekuni beberapa tahun dan satu per satu. Misalnya, saya sudah menulis artikel atau esai pendek sejak masih SD. Ya, saya menulis catatan opini di buku harian.
Prosesnya Tidak Sebentar
Setelah saya menekuni dunia blogger dan content writing, saya jadi tahu bahwa hobi menulis esai pendek di buku harian ternyata sudah menjadi modal yang cukup bagus. Saya pun belajar mengenal peletakan tanda baca yang benar, struktur kalimat yang koheren, hingga jenis kata baku yang sering mengalami perubahan. Jadi, tidak serta-merta langsung bisa.
Aslinya, saya ini gaptek parah. Ketika terjun ke dunia blog dan membeli domain pertama, wordholic.com, saya tidak bisa menautkan alamat domain dengan blogspot. Kalau diingat lagi, lucu sekali, hehehe. Saya baru bisa menautkan domain setelah dibantu staf domosquare.com tempat saya membeli domain. Itu juga terjadi setelah saya putus asa dan membiarkan domain nganggur selama tiga mingguan.
Namun, saya sadar dan sudah punya feeling kalau skill menulis ini bisa menjadi profesi langgeng yang bisa saya lakukan dari mana saja. Berawal dari belajar fiksi, saya mulai mengikuti lomba menulis novel dan beberapa di antaranya menjadi finalis hingga menjadi juara. Tentu saja prosesnya tidak sebentar karena saya menulis sejak masih sekolah dasar. Saat pertama kali menjadi freelance content writer pun, tidak berdasarkan keberuntungan. Apa saja yang saya lakukan?
Menulis Setiap Hari Sejak SD
Sejak kecil, saya menulis catatan harian dan isinya tidak hanya melulu berisi curhatan melainkan esai dan opini. Ketika masuk SMP, saya rajin mampir ke perpustakaan daerah dan membaca buku pengembangan diri serta filsafat ringan. Jadi, saya sudah akrab dengan Freud serta Rene Descartes dan membaca buku ‘7 Habits of Highly Effective People’.
Singkat cerita, saat saya bertekad ingin mendapatkan uang dari menulis di bangku kuliah, menulis artikel pun bisa saya lakukan tanpa banyak hambatan. Namun, saya masih terus belajar karena dari job pertama inilah saya mulai mengenal apa itu artikel SEO Friendly. Proses belajar itu saya lakukan dengan membaca buku terkait blog dan ikut kelas daring berbayar.
Tidak Putus Asa Meski Gaptek
Saya tidak suka pelajaran Teknologi Informasi dan hal-hal berkaitan komputer. Ternyata, untuk menjadi content writer profesional dan paham blog, mau tidak mau saya harus bersinggungan dengan teknologi. Sulit? Jelas, dong. Saya hampir putus asa karena pelan-pelan banget untuk memahami blog.
Dulu, saya mencampurkan tulisan fiksi dan artikel di wordholic.com. Setelah belajar, akhirnya saya mau untuk hanya fokus pada artikel. Prosesnya tidak setahun dua tahun saja. Saya gaptek, tetapi kalau ditanya sekarang, saya sudah percaya diri untuk memperkenalkan tentang blogspot.
Mau Mengikuti Perkembangan Bisnis Digital
Setelah beberapa tahun serius di dunia fiksi dan content writing, pada 2018 akhir saya mulai tertarik untuk belajar digital marketing. Saya gunakan waktu akhir pekan untuk belajar di pelosok-pelosok Surabaya. Saya tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor, jadi saya gunakan transportasi umum untuk menuju ke tempat tujuan, tidak peduli saat puasa Ramadan di siang hari sekalipun.
Lucunya, dulu saya tidak suka membaca buku bisnis atau marketing. Setelah belajar digital marketing dan copywriting, saya malah jatuh cinta dengan buku-buku tersebut. Akhirnya, saya pun mulai ingin memiliki platform kelas menulis sendiri. Pemicunya adalah karena mulai banyak komunitas yang meminta saya menjadi mentor menulis mereka.
Masalahnya, saya punya rasa tidak percaya diri dengan leadership. Jadi, untuk mewujudkan ide Wordholic Class masih diliputi keraguan. Saya pun mulai mencari kelas pengembangan diri hingga bertemu Upgrade Learning. Saya ikut 6 sesi kelas untuk membenarkan mindset serta leadership.
(Baca Juga: Hustle Culture Itu Berbahaya)
Mengombinasikan Keunikan
Cukup panjang perjalanan belajar saya di atas, bukan? Kini saya menerbitkan 20 buku solo, indie dan mayor. Kemampuan content writing serta copywriting masih terus saya asah sehingga saya bisa bekerjasama dengan banyak brand serta start-up. Saya pun membuat personal branding a la saya yaitu Wordholic. Saya suka bahasa asing hingga bekerja menggunakan bahasa Jepang dan Inggris serta menulis. Semuanya terkait dengan kata-kata.
Kini, saya juga menjadi writing coach untuk membagikan ilmu yang saya tekuni selama sepuluh tahunan ini. Orang bilang saya generalis, hmm sebenarnya tidak. Saya menulis novel pun kebanyakan topik dark romance dan fantasi, bukan religi apalagi komedi. Saya belum menjadi seorang penulis skenario. Beberapa hal yang saya tekuni sudah berhasil saya monetisasi, jadi jelas bukan sekadar ‘bisa’ saja.
Sekarang, saya ingin mengembangkan Wordholic Class. Sebagai Wordholic yang sudah menjadi Wordpreneur, saya menyusun sendiri jalan yang saya impikan. Perjalanannya tidak sebentar, tetapi saya yakin bahwa impian itu hanya 5 cm lagi di depan mata.
Kamu ingin tahu bagaimana cara saya menyusun peta impian dan mengatur strategi dengan sehat? Coba ikuti live Instagram di IG @wordholic_class. Kalau memang tidak bisa ikut saat siaran langsung, cek rekamannya, ya.
2 komentar
Keren banget, Kak memang benar sih tidak boleh putus asa dalam hal apapun
Bener sekali, yang paling penting mau mencoba satu-satuu sampai bisa hehe
Posting Komentar