Minggu lalu saya memberi komentar pada salah satu pernyataan seorang influencer yang menyebutkan bahwa work life balance itu hanya berlaku kalau kita sudah jadi orang kaya. Tentu saja saya kurang setuju. Saya tulis bahwa seseorang yang statusnya menengah pun tetap bisa memiliki kehidupan seimbang. Hustle culture bukanlah kebiasaan sehat. Kerja, kerja, kerja, sakit, apakah ini akan menjadi tolok ukur kebahagiaan?
Lucu saja, ada yang mengomentari saya dengan alasan yang sangat pesimis. Salah satunya malah membalas komentar saya begini, “Talk to your Mom.”
Saya jawab, “My Mom is a housewife who is happy and living in abundant life. What should I tell?”
Mengapa Harus Menunggu Kaya Untuk Bahagia?
Kaya itu subyektif, sama dengan keindahan dan kecantikan. Apa yang membuat kita bahagia? Kalau merasa cukup. Betapa banyak pejabat dan pemilik bisnis besar yang terjerat kasus korupsi hingga suap meskipun uang tabungannya bisa memenuhi kebutuhan puluhan kepala kelaurga tiap bulan. Apa alasannya mereka terus merasa ingin menambah kekayaan? KESERAKAHAN.
Bekerja terus-menerus demi mencapai titik ingin hidup seimbang, tolok ukurnya sampai seberapa? Seorang pekerja dengan gaji di bawah UMR, apakah tidak berhak istirahat? Bekerja keras demi mencapai tujuan itu memang harus, tetapi jangan sampai karena kerja keras, kita jadi lupa tidur cukup dan bercengkerama dengan keluarga. When you are dying, money is useless, you will crave your time with your lovely ones.
Hustle Culture Itu Tidak Sehat
Dari orang-orang yang membalas respons saya dengan pesimis, saya jadi tahu bahwa masih ada yang menganggap bahwa hidup seimbang dan bahagia hanya bisa dinikmati oleh mereka yang kaya dan memiliki banyak waktu luang. Namun, pandangan ini sebenarnya keliru dan merugikan, karena hidup seimbang dan bahagia adalah hak setiap orang, terlepas dari status sosial atau kekayaan.
Hidup seimbang mengacu pada keadaan di mana seseorang memiliki keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, serta antara waktu yang dihabiskan untuk bekerja dan bersantai. Hidup seimbang juga melibatkan pengembangan diri secara terus-menerus dan menjaga kesehatan fisik dan mental.
You need to relax |
Hustle culture, di sisi lain, adalah budaya yang mendorong seseorang untuk terus bekerja tanpa henti, mengorbankan waktu dan kesehatan mereka untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaan. Meskipun Hustle culture sering dianggap sebagai kunci untuk sukses, faktanya permasalahan lain juga turut mengikuti.
Kesehatan fisik dan mental yang buruk: Terlalu banyak bekerja dan tidak memiliki waktu untuk bersantai atau beristirahat bisa menyebabkan stres dan kelelahan, yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Hal ini dapat berdampak pada produktivitas dan kemampuan untuk bekerja secara efektif.
Kurangnya waktu untuk hubungan sosial dan keluarga: Hustle culture sering memaksa seseorang untuk mengorbankan waktu dengan keluarga dan teman-teman untuk bekerja. Ini dapat menyebabkan kurangnya dukungan sosial dan isolasi sosial, yang dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan emosional.
Menyebabkan kebosanan dan kelelahan dalam pekerjaan: Terus-menerus bekerja dengan intensitas tinggi dan tanpa waktu istirahat yang cukup dapat menyebabkan kebosanan dan kelelahan dalam pekerjaan. Hal ini dapat mengurangi motivasi dan kepuasan dalam pekerjaan, dan mempengaruhi performa dan produktivitas secara keseluruhan.
Memperkuat budaya yang tidak sehat di tempat kerja: Jika hustle culture diterapkan dalam organisasi atau lingkungan kerja, hal ini dapat memperkuat budaya yang tidak sehat di mana orang-orang dipaksa untuk bekerja dengan intensitas tinggi tanpa memberikan waktu yang cukup untuk istirahat dan pemulihan. Kematian akibat terlalu sering lembur di Jepang cukup tinggi dan ini disebut karoshi. Pemerintah Jepang berupaya membuat jam kerja dan lingkungan sehat. Apakah kita masih mau terus bekerja keras minim istirahat?
Tidak menciptakan kehidupan yang seimbang: Fokus yang terlalu besar pada pekerjaan dan kesuksesan dalam pekerjaan dapat menyebabkan kurangnya waktu untuk kegiatan dan hobi yang menyenangkan, serta kurangnya waktu untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Berobat ke psikiater itu tidak murah. Ada yang bisa dikover BPJS, sisanya jelas harus ditanggung sendiri.
Bekerja keras dan tanggung jawab dalam bekerja di mana saja itu wajb, tetapi ingatlah bahwa kita juga punya kehidupan. Hustle culture bukanlah jalan menuju kesuksesan, mindset dan pengaturan hidup yang baguslah yang bisa membuat kesuksesanmu lebih bermakna.
(Baca Juga: Kamu Tidak Akan Kenyang dengan Passion)
2 komentar
😍aku sukaaaaa jawabanmu mbaaaa 🤣🤣. Itu orang mana sih influencernya?
Aku tuh dulu kerja di bank asing yg jelas2 menekankan work life balance. CEO nya sendiri yg ngucapin itu ke kami semua. Artinya, dia sendiri menganggab kalo kerja yg tiap hari lembur, itu ga bagus. Malah buat dia, staff itu ga pandai manage waktu kalo sampe tiap hari lembur. Aku setuju sih.
Makanya buatku mah ga pengen ngoyo. Ukuran sukses itu apa sih. Ga ada yg pasti. Prinsipku, ngapain capek kerja kalo ga bisa dinikmatin hasilnya. Rugi laaah 🤣🤣. Jadi, work hard, tapi tetep harus play hard 😄
Beneran mbak, ya standar kita soal balance itu pasti beda-beda, tapi standar paling kerasa itu ya jelas mental health sama energi. Kalau udah mulai ga balance, mulai sering stres, gampang drop dll. Standar balance kaya apa? Tiap orang pasti punya preferensinya sendiri.
Posting Komentar