Pada 4 Februari
lalu, saya mengikuti walking tour Bersukaria Surabaya lagi untuk kedua kalinya.
Kali ini saya akan menyusuri Peneleh untuk berpetualang mencari tahu sejarah
singkat yang belum pernah saya ketahui. Ternyata tidak seperti tur saya
sebelumnya di Kraton Surabaya, pesertanya cukup banyak sampai harus dibagi dua
regu. Dua tim dipandu storyteller Kak Laily dan Kak Moses.
Tur kali ini
mempelajari sejarah Makam Peneleh dan juga berpetualang singkat mengintip
secuplik kisah cinta Bung Karno dengan istri pertamanya. Yuk, baca sampai
selesai, ya!
Makam Peneleh yang Tak Hanya
Soal Mistis
Makam Peneleh,
disebut Makam Belanda Peneleh adalah makam tertua kedua di Surabaya. Makam
tertua pertama lokasinya di daerah Morokrembangan. Dahulu, banyak orang Eropa
yang meninggal karena tidak bisa beradaptasi dengan cuaca panas Surabaya sehingga
kasus kematian mendadak bisa terjadi beruntun.
Dok. pribadi |
Makam orang-orang
Belanda dan Eropa lain yang ada di Morokrembangan juga tanahnya ambles hingga
banyak jenazah bermunculan. Lalu sebagian jenazah atau tulang-belulang mulai
dipindahkan ke Peneleh. Selain orang Eropa, orang Jepang pun dimakamkan di
Peneleh. Untuk orang Indonesia yang berkedudukan tinggi pun bisa dimakamkan di
Pemeleh.
Bangunan dalam
makam juga berbeda-beda tergantung dari profesi atau strata sosial. Seperti
guru atau pastor punya jenis makam berbeda. Namun, kini banyak makam kosong
karena keluarga membawa jenazah ke Eropa
untuk diabukan atau dipindah. Di dalam Makam Peneleh ini, terdapat Makam
Dum yang punya aura berbeda dan sering
disebut angker karena ada ganggguan aneh yang dirasakan pengunjung atau
peziarah saat berada di situ. Tempat kremasi di makam ini disebut Omah Balung.
Beautiful antique (Makam Peneleh) |
Salah satu tokoh
terkenal masa penjajahan yang dimakamkan di Peneleh adalah fotografer terkenal
Yohannes Kukjan dan makam Gubernur Jendral Belanda Peter Markus, yang menjadi satu-satunya
gubernur jendral Hindia-Belanda yang dimakamkan di Surabaya karena tinggal di
dekat Gedung Simpang (sekarang menjadi Balai Pemuda).
Dok. Pribadi |
Setelah memasuki zaman modern, sempat terjadi kasus vandalisme oleh penduduk sekitar dan mereka menjual batu marmer atau nisan serta menggali barang di makam. Kini, makam tersebut dijaga ketat sehingga saya dan peserta tur hanya bisa melihat dari luar pagar. Di kawasan pemukiman Peneleh, kadang ditemui makam yang lokasinya di depan rumah karena dulu kekurangan lahan. Wah, agak seram juga, ya. Rumah saya juga dekat dengan makam, tetapi tidak di samping jendela kamar juga, deh.
Warga di kampung
Peneleh ramah dan terkenal gotong royongnya. Masih banyak rumah-rumah yang
kokoh berdiri sejak zaman penjajahan Belanda
atau Jepang. Sertifikat tanah bangunan lama tersebut masih berbahasa Belanda.
Rumah Kos Milik HOS Cokroaminoto
yang Penuh Romansa
Pasti kamu sudah
tidak asing dengan Bapak HOS Cokroaminoto. Sebagai salah satu tokoh bersejarah
di Indonesia, beliau juga menjadi bagian dari cerita hidup Bung Karno semasa
muda di Surabaya. HOS Cokroaminoto memiliki putri bernama Utari. Dulu, rumah
beliau menjadi rumah kos Bung Karno dan
kawan-kawannya ketika masih menjadi pelajar.
Dok. Pribadi |
Dok. Pribadi |
Dok. Pribadi |
Di rumah itu juga
menjadi tempat cinlok Bung Karno dan
Utari hingga menikah. Namun, ada rumor mengatakan jika Soekarno menikahi Utari
bukan sepenuhnya dengan perasaan penuh romansa, tetapi lebih ke platonik di
mana ia menganggap Utari sebagai sahabatnya. Pernikahan mereka ini berjalan
hanya sebentar dan Soekarno punya firasat ketika menyalakan api rokok, tangannya
tersulut sedikit. Firasat tidak menyenangkan soal pernikahan pertama tersebut
muncul begitu saja.
Anak kos HOS Cokroaminoto Dok. Pribadi |
Di dekat rumah
HOS Cokroaminoto, kita juga bisa berjalan ke toko buku Peneleh tempat Bung
Karno suka membaca buku. Bangunan yang masih mempertahankan arsitektur lamanya
itu masih berdiri hingga sekarang, tetapi buku yang dijual kini kebanyakan
hanya berkaitan dengan agama atau Muhammadiyah.
Toko Buku Peneleh (Dok. Bersukariawalk Sby) |
Kampung Peneleh yang Penuh
Cerita Perjuangan
Rute berikutnya
adalah jelajah sekitar perkampungan daerah Peneleh. Pemberhentian kami
selanjutnya di Masjid Jami Peneleh, masjid tertua kedua di Surabaya. Masjid
tersebut menjadi tempat perundingan ulama dan menjadi salah satu lokasi penyebaran
agama. Murid Sunan Ampel berkumpul di sini untuk berdiskusi, beribadah, dan
memiliki sumur yang sangat dalam untuk menyembunyikan senjata rampasan Belanda.
Rumah cantik di Peneleh (Dok. Pribadi) |
Asal mula kata ‘Peneleh’
berasal dari ‘Panilih’ yang berarti ‘orang yang terpilih’ karena seorang Raden
dari zaman Majapahit mendapat tanah ini. Tidak jauh dari Peneleh, terdapat juga
kampung Pandean. Pada masa kerajaan, orang-orang kawasan Pandean dikenal pandai
membuat kerajinan atau senjata seperti keris. Dulu, tanahnya terpisah dengan
kota utama, penampakannya seperti daerah hutan belantara yang dipisahkan sungai
sehingga dibangunlah Jembatan Peneleh.
Jembatan Peneleh menjadi
jembatan pertama yang menghubungkan daerah Peneleh dengan Alun-Alun Contong dan
pusat kota. Mulanya, daerah Peneleh seperti terisolasi. Tur lalu berlanjut ke rumah
kelahiran Bung Karno di Jalan Pandean Gang IV.
Rumah Bersejarah Orang Tua Sang
Putra Fajar
Orang tua Bung
Karno bernama Raden Sukemi dan Ida Ayu. Raden Sukemi bertemu Ida Ayu di Bali
dan pernikahan itu tidak direstui karena keluarga Ida Ayu berasal dari keluarga
ningrat yang terpandang. Selain itu, mereka memiliki agama yang berbeda.
Pasangan yang
sedang dimabuk cinta tersebut akhirnya melakukan kawin lari dam berpindah ke
Peneleh. Mereka mengontrak di kawasan Pandean karena ada komunitas orang Bali
di sana. Pernikahan Ida Ayu dan Raden Sukemi dilaksanakan tanpa restu sehingga
Ida Ayu dilarang kembali ke tanah Bali.
Bung Karno lahir
saat Subuh dan matahari langsung masuk ke kamar sehingga ia dijuluki Putra Sang
Fajar. Setelah ia lahir, ada beberapa tokoh atau sesepuh yang meramalkan jika
ia akan jadi orang besar sekaligus juga butuh diarahkan. Raden Sukemi bekerja
sebagai guru sekolah selama tinggal di sana.
Kawasan Peneleh
dan Pandean ini memiliki rumah berbagai desain dari masjid sampai yang bercorak
Bali. Oleh sebab itu, kawasan tersebut disebut sebagai daerah yang aman dan
damai untuk berbagai suku dan agama. Perjalanan kami berlanjut hingga sampai ke
sumur bersejarah yang disebut Sumur Jobong.
Sumur Jobong
adalah sumur tertua di Surabaya, bahkan disebut sebagai sumur tertua sebelum
zaman Majapahit. Lokasinya ditemukan secara tidak sengaja oleh Pak Agus, satu warga yang memimpin pembangunan saluran air. Ketika tanahnya sedang digali,
sekop milik tukangnya tertumbuk sesuatu. Setelah digali, ada tulang manusia
sampai barang keramik dan genting. Air sumur masih dipakai untuk menyiram makam
untuk berziarah hingga sekarang.
sumur Jobong (Dok. Bersukariawalk Sby) |
Mitos dari Sumur
Jobong adalah airnya dijaga Dewi atau Dewa Air. Dan masyarakat setempat percaya
jika airnya berkhasiat untuk menyembuhkan sakit kulit, lumpuh, sampai sakit
mental. Kata Pak Agus, pernah ada anak kecil yang kakinya sakit dan tidak bisa
jalan, lalu minum air sumur dan kaki dibasuh. Ajaibnya, bocah tersebut akhirnya
bisa berjalan.
Para peneliti menilai jika bahan bangunan sumur tersebut sama seperti bangunan di Trowulan. Kisah unik lain dari sumur ini adalah setelah kerangkanya diteliti dalam uji karbon di Belanda, ternyata secara genetik, tulang-belulang tersebut memiliki kedekatan 90% secara gen dengan Pak Agus. Jadi, bisa disimpulkan jika itu adalah tulang-tulang leluhur Pak Agus, sehingga ia dipercaya menjaga Sumur Jobong. Sungguh sebuah kebetulan yang tidak bisa disangka-sangka.
Perjalanan kali ini pun penuh dengan canda tawa dan semangat baru mengulik sejarah yang tidak saya peroleh dari buku teks. Berikutnya, saya akan mengikuti tur rute Kota Eropa. Langganan blog ini, ya, supaya kamu tidak ketinggalan cerita.
(Baca Juga: Walking Tour Bersukaria Rute Kraton Surabaya)
Tidak ada komentar
Posting Komentar