Saat melihat pembatasan wilayah mulai longgar, saya dan sahabat seja SMU, Lita, akhirnya bisa mewujudkan rencana kami untuk berlibur ke Bali. Niatnya memang mau berlibur santai, jadi tidak banyak obyek wisata yang akan kami datangi. Waktu berlibur pun hanya 3 hari 2 malam saja, maklum budak korporat seperti kami tidak enak kalau kelamaan cuti.
Kunjungan saya ke Bali pada minggu awal Januari lalu menandai masa 11 tahun saya tidak pernah datang. Terakhir kali saya ke sana adalah saat tahun pertama kuliah. Hmm, time flies so fast, but I’m still a single happy (OOT, hahaha). Jika dulu pada masa sekolah dan kuliah saya mengikuti tur dengan jadwal yang padat, saya dan Lita sepakat hanya berjalan santai di sekitar tempat menginap, GWK, serta Joger. Selain itu, kami tidak menyewa kedaraan, jadi ke mana-mana kami menggunakan transportasi online.
Liburan untuk rileks, bukan untuk stres
Kata beberapa kawan, “Yah, sayang banget dong kalau ke Bali, tapi nggak mampir ke Ubud, nggak keliling ke tempat wisata yang hits.”
Wah, kami pergi ke Bali bukan untuk melengkapi wishlist tempat wisata, kok. Justru saya dan Lita ingin mengganti suasana tempat tinggal dan kerja kami dengan situasi lebih rileks.
Hotel yang kami pilih pun catchy dan punya makanan yang cukup enak. Ketika berkunjung ke pantai Kuta, saya bersyukur karena pantainya masih belum ramai wisatawan sehingga masih sangat bersih. Seharusnya kita mulai mengurangi kebiasaan ‘liburan untuk mencoba obyek wisata populer’. Memang bukan hal yang salah jika ingin begitu, kadang saya juga tertarik ingin mendatangi sebuah tempat yang sedang populer, tetapi jika dalam kamus liburan keluarga atau bersama sahabat, saya memilik jenis liburan rileks.
Liburan rileks itu tidur di hotel atau penginapan yang nyaman, makan enak, jalan kaki santai di tempat bagus, dan tidak memenuhi jadwal liburan dengan berpindah tempat terlalu banyak. Malah saat di Bali tiga bulan lalu, saya dan Lita masih sempat tidur siang sebelum berpindah ke lokasi lainnya.
Menikmati suasana Bali
Saya dan Lita menginap selama 3 hari dua malam di Bali, tetapi kami berpindah di dua hotel berbeda. Hari pertama kami check-in dulu di hotel lalu makan siang di Milu by Nook. Restoran atau kafe ini sangat populer. Banyak wisatawan dari lokal hingga mancanegara yang menikmati waktu bersantai selama di Milu. Tentu saja pilihan makanannya pun beragam. Saya memilih menu sandwich ala Vietnam yaitu Bhan Mi. Ini pertama kalinya saya menyantap menu tersebut sambil membayangkan bisa ke Ho Chi Minh City setelah tertunda sejak 2020.
Milu By Nook |
Milu ini memiliki gaya modern berpadu dengan klasik. Terlihat dengan interior yang unik dan vintage, juga dipadukan dengan perabot yang didesain minimalis. Instagramable banget pokoknya.
Sepinya Pantai Kuta
Setelah kenyang dengan menu makan siang, kami berpindah menuju area pantai Kuta. Saya penasaran saja setelah membaca pantai yang selama ini terkenal dengan banyaknya wisatawan sampai banyak sampah berserakan ini menjadi bersih. Benar saja, saya seperti melihat pantai yang belum pernah saya kunjungi.
Pantai Kuta |
Pertama kali saya ke Bali adalah saat masih kelas 5 SD untuk megikuti ujian level bahasa Inggris di salah satu kursus yang saya ikuti. Di sanalah untuk pertama kali saya memberanikan diri untuk berbincang dengan turis asing meski masih berusia 10 tahun. Kemudian, ketika SMP saya berangkat ke sana lagi untuk liburan sekolah. Kuliah semester 2 pun acara fakultas diselenggarakan di Bali. Total beberapa kali ke sana, ingatan saya selalu terikat dengan Pantai Kuta yang ramai.
Senja yang saya nikmati sangat berbeda. Saya merasakan denyut Bali yang baru perlahan bangkit setelah hancur ditempa pandemi. Banyak anak-anak yang menjual tisu dengan nada memaksa, sampai membuat saya merasa tidak nyaman. Agak jengkel memang, tetapi mungkin itulah salah satu cara mereka untuk bisa bertahan hidup bersama orang tua yang sama-sama sedang mencari nafkah.
Setelah malam semakin pekat, saya dan Lita bergeser ke mal Beachwalk untuk makan malam. Suasana malam minggu terasa semakin nikmat ketika saya mendengar live music dengan suara penyanyi nyang merdu dari bagian tengah mal.
“Aku mau beli minum bentar, ya,” kata Lita lalu meminta saya untuk menunggu di dekat kolam ikan yang dekat dengan suara penyanyi. Saya merasakan kedamaian. Minggu pertama 2022 di Bali, saya sekaligus merenungkan rencana menulis sampai pengembangan bisnis Wordholic Class. Suasana di sekitar saya malam itu masih cukup jelas di kepala.
Aneh, bahkan ketika saya menulis ini beberapa bulan kemudian, saya masih ingat dengan dua gadis remaja yang sedang joget TikTok, seorang anak kecil yang merengek minta dibelikan eskrim, dan sepasang kekasih yang bergantian berfoto di depan toko eskrim. Sepinya Pantai Kuta dan kehangatan di dalam mal ini membuat kegelisahan di pikiran saya mulai terurai. Kita semua sedang berjuang dan mulai bangkit setelah habis-habisan pada masa pandemi.
GWK yang Memesona
Saya memesan tiket ke GWK lewat aplikasi burung biru. Tiket tersebut nanti tinggal ditukar di loket pendaftaran. Sesampainya di GWK, saya berdecak kagum. GWK sudah jauh berubah dibanding saat saya datang ketika masih menjadi mahasiswi. Untuk masuk dari tempat parkir ke loket utama, pengunjung perlu naik bus mini. Kemudian saya dan Lita jalan kaki untuk menikmati lingkungan dan situasi GWK. Meskipun cuaca panas, angin cukup memberikan efek sejuk selama kami jalan kaki.
Wow, tentu saja saya jadi norak ketika melihat tembok-tembok mural penuh citarasa seni yang membuat saya narsis sampai setengah jam. Yang paling utama, tentu saja saya dapat menikmati pemandangan hijau serta patung-patung keren yang dipahat di area GWK. Ini semacam oase bagi saya yang suka suasana asri dengan perpaduan seni. Setelah puas menjelajahi GWK, kami mampir sebentar untuk membeli oleh-oleh di Joger.
Oya, saya dan Lita berpindah hotel selama dua hari. Hari pertama kami menginap di Aveda Boutique. Saat sarapan asik sekali karena kami bisa memandang sawah dari tempat makan. Di hari kedua, kami pindah ke Llyoid’s Inn yang hanya beberapa menit jaraknya dari pantai Double Six.
Urusan pemilihan hotel ini saya serahkan kepada Lita. Selain dapat harga yang bagus, kedua hotel kami estetik, apalagi di Llyoid’s Inn. Tempat kedua ini memang cukup terpencil, tetapi sangat nyaman buat saya yang suka tempat instagramable dan mau merenung untuk mencari ide. Saat menikmati suasana pagi hari di pantai Double Six pun saya merasakan damai yang agak sendu. Hotel-hotel besar banyak yang tutup, bahkan seorang driver Grab Car yang kami tumpangi, curhat masalah rumah tangganya yang hancur saat pandemi.
Kiri ketika di Milu; Kanan di GWK Kiri di Milu; Kanan di Llyoid's Inn
Setelah kembali ke rumah di hari ketiga, saya tahu jika keraguan saya di awal tahun terkait pengembangan bisnis, masalah pribadi, dan kecemasan lain itu masih setitik jika dibandingkan masalah penduduk Bali. Mereka memiliki daya juang dan mental yang bagus meski sempat terpuruk. Berlibur Bali gaya santai, menumbuhkan optimisme baru dalam hati.
Foto dan video lebih lengkap bisa disimak di sini ya.
3 komentar
Bali memang ga akan bosenin sih, mau didatangin kapan aja 😁. Maret kemarin aku baru dari Bali, dan Juli besok udah mau kesana lagi 😄. Tapi saking seringnya ke Bali, akupun kadang lebih suka gaya santai jadinya mba. Ga pake ITIN, hanya jalan sesuai hati mau kemana aja 😄. Toh tujuannya kesana itu biasanya hanya utk rileks memang 😁.
Sepertinya Juli besok ke Bali, akupun maunya hanya santai, ga terikat ITIN.
Seru yaa Liburan di Bali!
Kapan ya bisa berkunjung.
Bisa nih bulan ini hihi
Posting Komentar