“Ibu enggak merestui kita setelah hitung-hitungan weton kemarin. Maaf ya, Sita.” Novan, kekasihku selama setahun ini memberikan kejutan yang membuatku tercengang. Hah? Dari segala alasan untuk putus, kali ini soal weton? Memang dia adalah putra sulung keluarga terpandang yang masih punya darah bangsawan, tetapi di zaman semodern ini masih juga ada yang putus karena weton?
“Kamu yakin soal itu? Aku udah sering ketemu sama ayah sama ibu kamu, mereka kelihatannya baik-baik aja. Tapi enggak tahu lagi gimana perasaan mereka. Kamu yakin ini bukan alasan yang dibuat-dibuat?” Aku berharap ada alasan yang lebih masuk akal dari sekadar weton.
Novan mengeluarkan selembar kertas dari saku kemejanya. Kertas itu dlipat kecil. Setelah kubuka, ada berbagai hitungan dan tanda panah yang tidak pernah kuterima selama di sekolah. Bahkan rumus Matematika bisa jadi lebih mudah dari hitungan yang sedang kubaca.
“Ayah dan Ibu ngiranya kita pacaran biasa aja, belum mikir ke jenjang serius. Makanya pas minggu lalu kubilang kalau mau melamar kamu, mereka langsung pergi ke sesepuh keluarga kami. Ulang tahunmu sama ulang tahunku dihitung, ketemunya jelek. Kalau kita nekad nikah, rejekinya bisa seret dan anak kita akan sakit-sakitan sampai ada yang meninggal.”
“Van, kamu percaya itu?” potongku tidak sabar.
“Dulu aku enggak percaya tapi tanteku yang nekad menikah walau ada pantangan weton dan udah diruwat sekalipun, akhirnya meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Dari hasil hitungan weton dengan suaminya, salah satu bakal ada yang meninggal.”
Aku bisa membaca arti mata Novan hari ini. Ia takut dan khawatir. Novan lebih takut pada ramalan weton daripada kehilangan diriku.
“Kamu tahu kan kalau percaya hal beginian sama dengan musyrik. Tantemu meninggal ya karena komplikasi melahirkan, bukan karena weton. Kalau kamu maunya begitu, mending kita pisah aja,” kataku pasrah.
“Maaf, Sita. Aku sayang kamu...”
“Sayang? Kalau kamu sayang sama aku, kamu akan mencari jalan keluar buat kita bisa bersama, bukannya percaya weton!” Aku berdiri lalu mengangsurkan lembaran uang. “Makanan yang kupesan hari ini, kubayar. Resmi hari ini kita enggak ada hubungan apa-apa lagi. Makasih buat setahun ini ya.”
Kubiarkan Novan memanggil namaku berkali-kali. Aku keluar dari restoran yakiniku dengan perut kenyang namun hati terbelah. Kugosok mata berkali-kali. Aneh, aku tidak menangis. Setelah menemukan taksi di depan restoran, aku langsung minta diantar ke rumah. Tubuhku lelah sampai aku mendesah beberapa kali.
“Mbaknya lagi ada masalah ya? Dari desahannya kelihatan kaya lagi sumpek gitu,” ujar si sopir taksi.
Aku sedikit terusik. Orang ini kenapa sok tahu? Tapi benar juga sih, beban pikiranku rasanya menumpuk. Tiga hari lagi ulang tahunku yang ke-28 dan sekarang aku resmi menjadi jomlo untuk kesekian kali.
“Baru putus sama pacar, Pak. Padahal kami udah ngebicarain soal pernikahan. Kenapa susah sekali ya nyari jodoh? Enggak kaya orang-orang yang bisa gampang banget ketemu pasangan hidupnya.” Oke aku memang butuh tempat curhat. Peduli amat kalau si bapak sopir taksi ini geli mendengarkan curhatanku. Curhat ke orang yang tidak dikenal, lebih baik daripada curhat sama orang yang berpotensi jadi ember bocor.
“Sudah berapa kali pacaran kok kelihatannya seperti capek sekali kalau dengar ceritanya, Mbak?”
“Ini putus yang kelima dalam tiga tahun ini, Pak. Yang terakhir ini paling lama, sampai setahun pacaran. Yang lain biasanya hanya enam sampai tujuh bulan. Putusnya juga ada aja, padahal nggak ada mantan saya yang selingkuh.”
“Ooh begitu.” Pak Sopir menghentikan taksinya di depan lampu merah. Masih ada beberapa menit sampai rumahku. “Bisa jadi ada orang yang pernah Mbak sakiti dan Mbak belum minta maaf? Makanya di hubungan selanjutnya jadi enggak lancar. Saya bisa bilang begini karena teringat apa kata ibu saya dulu. Sebelum dapat istri yang sekarang, saya juga sering ditolak perempuan. Ternyata karena saya pernah menghina wajah anak gadis yang naksir saya saat SMA. Saya pikir itu hal biasa, ternyata kalimat yang diucapkan saat sakit hati itu bisa dikabulkan Tuhan lho. Makanya saya mencari perempuan itu buat minta maaf dan sebulan kemudian saya bertemu gadis cantik lain yang sekarang jadi istri.”
Siapa yang pernah kusakiti? Bukannya aku yang selalu diputusin? Taksi melintas di sebuah mal. Sudah lama aku tidak berkunjung ke mal yang mempunyai restoran puncak gedung terkenal itu. Seketika aku teringat sesuatu. Itu di hari ulang tahunku tiga tahun lalu.
“Sepertinya ada, Pak. Mungkin orang ini sakit hati banget sama saya waktu itu,” ujarku diliputi rasa sesal.
“Mbak temuin orangnya, minta maaf. Walau enggak diterima, yang penting Mbak mau mengaku salah.”
Aku berterima kasih pada Bapak Sopir bijaksana itu. Sesampainya di rumah, kubuka akun Instagram lama. Tiga tahun lalu aku sengaja berganti akun untuk memulai lembaran baru. Dia juga tidak mencari akunku yang lain. Kami berada di satu kota, tetapi tidak pernah lagi kami bertemu walau tidak sengaja.
“Ceweknya cakep banget emang. Kayanya model nih,” gumamku ketika menelusuri akun Instagram Ervan, mantan kekasihku tiga tahun lalu. Terakhir kali fotonya diposting seminggu lalu. Jantungku berdebar. Kira-kira dia mau nerima maafku, tidak ya? Bisa dibilang aku sangat egois waktu itu.
Hi, Ervan. Gimana kabar? Mungkin aneh kalau aku mendadak ngirim DM kaya gini. I want to say sorry, so much. Beberapa tahun ini aku tahu kamu bisa hidup dengan happy, sorry juga aku memblok kamu lalu ngilang. Aku pakai akun baru. Tapi ternyata, rasa bersalah bikin aku enggak tenang. Aku punya utang maaf dan utang penjelasan sama kamu. Kalau kamu bersedia buat maafin, can we meet in Canola Cafe tiga hari lagi? Kutunggu jam 4 sore. Kalau kamu enggak datang, itu hakmu juga sih, yang pasti aku akan nunggu sampai beberapa jam. I hope you come and listening to my explanation. Thanks.
Kalau di kisah cintaku setelah Ervan, aku selalu menjadi pihak yang ditinggalkan. Ternyata aku pernah jadi orang brengsek juga. Aku tidak berpikir soal rasa bersalah sampai bertemu Bapak Sopir Taksi. Bisa jadi Ervan mengutuk dalam hati ketika kutinggalkan begitu saja. Ya, aku begitu karena aku terlalu cinta sama dia. Sangat cinta sampai aku rela mati demi Ervan.
“Jangan pernah terlalu cinta sama laki-laki. Lihat Ibu sekarang. Sementara ayahmu bahagia sama keluarga selingkuhannya, kita berdua harus kerja keras hanya buat makan.” Itulah kalimat Ibu setelah kami keluar dari rumah lalu hidup mengontrak. Sekarang Ibu memiliki rumah sendiri dengan bisnis katering dan kuenya yang melaju pesat. Aku sengaja mengontrak untuk belajar hidup mandiri.
Bertemu Ervan, membuatku lupa diri. Mungkin ini sebabnya, di perpisahan-perpisahanku setelah Ervan, aku tidak terlalu bersedih. Iya, aku yang memutuskan pergi, tapi ini buat melindungi perasaanku supaya jangan sampai seperti Ibu.
Tiga hari serasa sangat lambat. Dan pada hari ulang tahunku, aku bersiap untuk menemui Ervan. Rasanya kejam sekali, tetapi ini lebih baik daripada aku tidak mendapat maaf dan tidak bisa menikah selamanya hanya karena rasa sakit hati Ervan. DM dariku sudah dibaca walau tidak ada balasan. Ya sudahlah, yang penting aku usaha dulu.
***
Dinding kaca Canola Cafe memantulkan penampilanku yang baru selesai mendapat sentuhan hairstylist. Dress krem selutut kupadukan flat shoes warna soft pink. Ini memang bukan kencan, tetapi aku yakin jika untuk meminta maaf sekalipun, aku harus memberikan penampilan terbaik. Demi kesuksesan hasil.
Aku menyantap salad dan jus jeruk yang terhidang. Sejak siang, perutku tidak kemasukan makanan. Lagu yang diputar di kafe mungkin telah berganti belasan kali sampai saladku habis dan jus jerukku tinggal seperempat gelas. Sepertinya Ervan memutuskan tidak akan akan datang. Akhirnya aku memesan dimsum. Satu jam menunggu memang menyebalkan apalagi kalau sampai dua jam. Lagipula ini demi diriku sendiri jadi aku harus bersabar.
“Permisi, apa benar kamu Sita Angelia?” Seorang gadis anggun mendekati mejaku. Wajahnya nampak tidak asing.
“Ya, itu nama saya. Kamu siapa ya?”
“Aku Mayra.” Gadis itu duduk di hadapanku. “Kamu pasti udah lihat di akunnya Ervan, kan? Ada aku di situ.”
What? Jadi yang membaca pesan DM-ku itu pacarnya Ervan? Pantes enggak ada balasan.
“Sorry, kamu jangan mikir yang bukan-bukan ya, Mayra. Aku cuman mau minta maaf. Aku enggak ada niatan buat gangguin hubungan kalian. Aku ke sini sebagai teman yang pernah punya salah.”
Mata Mayra menyipit menatapku. Dilihat dari dekat seperti ini, terlihat sekali kalau dia lebih cantik daripada fotonya. Make up tipis, mungkin tidak setebal pulasanku, tetapi kulitnya terlihat tanpa cela. Cantik sekali mirip Ariana Grande.
“Kenapa baru sekarang?” tanya Mayra.
“Ma...maksudnya?” Aku tidak paham.
“Kenapa baru sekarang kamu mau minta maaf? Apa karena enggak ada cowok lain yang cintanya sekuat Ervan? Kenapa enggak minta maaf dari awal kamu ninggalin dia?”
Karena aku ingin menikah, aku mau nyoba saran dari Bapak Sopir Taksi itu.
“Kenapa diem aja? Aku enggak mempermasalahkan kalau kamu mau ketemu Ervan. Itu sudah seharusnya. Tapi yang kulihat kamu mempersiapkan situasi agar Ervan mau menerima permintaan maafmu. Dandan cantik, kafe tempat kalian sering mampir, ketemu di hari ulang tahunmu. Kalau mau minta maaf, seharusnya semuanya buat Ervan, kan? Bukan buat egomu.”
“Kenapa kamu tahu soal hari ini dan kafenya? Ervan yang cerita? Oke kalau dia enggak mau datang, aku terima. Tapi kamu juga enggak berhak buat menyindirku seperti ini,” ujarku geram. Aku tersinggung karena komentar Mayra ada benarnya. Am I too selfish?
“Soal hari ini, aku tahu karena aku tahu password akunnya Ervan juga. Kalau soal lainnya, jelas dia cerita langsung. Ervan mau ketemu kamu tapi tempatnya beda. Bayar dulu makananmu, kuantar ke sana. Dia yang minta.” Mayra berdiri meninggalkanku. Cepat-cepat kuberikan dua lembar uang tanpa meminta kembalian pada waitress. Mungkin Ervan cerita soal kami dan Mayra ingin ikut mendengarkan.
“Kita naik mobilku,” kata Mayra.
Di dalam mobil, Mayra tidak lagi mengajakku bicara. Ia fokus mengendarai mobil. Ya Tuhan, kenapa untuk minta maaf saja bisa sesusah ini? Aku tahu kalau aku salah. Ternyata begini rasanya menjadi orang yang bersalah dan menghamba maaf. Kami sampai di sebuah lokasi. Mayra memimpin di depanku dengan langkah cepat. Kakiku gemetar ketika turun dari mobilnya. Aku tidak siap.
“Hai, Van. Benar katamu. Akhirnya dia mau minta maaf.” Mayra mengelus sebuah nisan yang terlihat masih baru. Tertulis nama ‘Ervan Handoko’ di nisan putih itu. Tubuhku menegang semenjak tahu mobil memasuki area pemakaman.
“Kapan? Maaf aku baru tahu. Maafin aku Ervan!” Suaraku mencicit menahan gelegak tangis yang hampir pecah. “Harusnya aku datang lebih awal, minta maaf lebih awal.”
“Seminggu yang lalu Ervan bilang kalau kami mungkin enggak akan bisa menikah. Dia masih menunggu maaf darimu. Dan kalau kamu datang minta maaf, maka dia pasti otomatis mau kembali. Aku tahu sejak awal kami pacaran kalau Ervan enggak pernah berpaling dari mantannya, yaitu kamu. Dia sering berkencan tapi enggak ada yang dijadikan kekasih. Aku bisa jadi pacarnya karena aku yang setengah memaksa. Seminggu yang lalu dia yakin kalau sebentar lagi kamu akan datang minta maaf saat ulang tahun dan di tempat kencan terakhir kalian. Ternyata ramalannya benar, sayangnya kecelakaan jalan tol membuatnya pergi lebih dulu.”
Suara Mayra berdengung di telingaku. Ervan tahu kalau aku akan minta maaf? Dia ingin kembali padaku? Pandanganku mulai berkunang-kunang. Sejak awal akulah penjahatnya. Yang tersisa sekarang hanya gelap.
8 komentar
Cerita yang di tulis seringan mungkin dan langsung mengena di hati pembaca sangat jelas inti ceritanya.
Terima kasih, semoga menghangatkan hati pagi ini ya :)
Selalu suka baca cerpen, apalagi ceritanya ringan dan sesuai judulnya...
menarik
Ah seandainya Sita minta maaf lebih awal ya...
Temenku juga ada yg batal nikah krn itung2an weton ini. Padahal dah cukup lama pacaran.
Duh Ervan, kenapa kamu cepat sekali pergi sebelum maaf sampai kepadamu?
Kisah ini sungguh bikin mengharu biru deh.
Kalau kebudayaan Jawa kental, bisa jadi penghalang memang, hiks padahal ini enggak ada dasarnya di Islam
Posting Komentar