Read My Story About
MY LOVE #2
Genre : Kumpulan Cerpen
Penulis : Boneka Lilin et Boliners
Editor & Layout : Boneka Lilin
Design Cover : BoLin
Penerbit : Harfeey
ISBN : 978-602-1200-01-8
Tebal : Hlm, 14, 8 x 21 cm (A5)
Harga : Rp40.000,- (Harga Kontributor Rp34.000,- setiap pembelian bukunya)
CP Order : 081904162092
Sinopsis
You're simply amazing. And I just couldn't imagine my life without you. I wanna be the last one you love.
***
Kontributor:
Boneka Lilin, Waritsah Assilmi, Irpan Ilmi, Anggar Nilasari, Diah Amelia Risky, Hanifah Permatasari, Ismawati, Alzenni Manda, Mahardika, Mutia Rafif, Mery Eldiandra, Tiara Putri, Silviana Maya, Redisha, Utami Pratiwi, Airis Ahluma, Nunik Susilo Rini, Diyah Hardiyati Khasanah, Rela Sabtiana, Kasiyati, Eny Lestari, Bunga Aprilla Maharani, Dessy Purbandari
MY LOVE #2
Genre : Kumpulan Cerpen
Penulis : Boneka Lilin et Boliners
Editor & Layout : Boneka Lilin
Design Cover : BoLin
Penerbit : Harfeey
ISBN : 978-602-1200-01-8
Tebal : Hlm, 14, 8 x 21 cm (A5)
Harga : Rp40.000,- (Harga Kontributor Rp34.000,- setiap pembelian bukunya)
CP Order : 081904162092
Sinopsis
You're simply amazing. And I just couldn't imagine my life without you. I wanna be the last one you love.
***
Kontributor:
Boneka Lilin, Waritsah Assilmi, Irpan Ilmi, Anggar Nilasari, Diah Amelia Risky, Hanifah Permatasari, Ismawati, Alzenni Manda, Mahardika, Mutia Rafif, Mery Eldiandra, Tiara Putri, Silviana Maya, Redisha, Utami Pratiwi, Airis Ahluma, Nunik Susilo Rini, Diyah Hardiyati Khasanah, Rela Sabtiana, Kasiyati, Eny Lestari, Bunga Aprilla Maharani, Dessy Purbandari
Bisu. Menjadi gagu adalah salah
satu ‘keistimewaan’ yang kumiliki. Aku tak sengaja bertemu dengannya sekali
lagi. Tubuhnya ceking dengan kulit kuning bersih. Mata sipitnya dihiasi dengan
kacamata minus- sederhana saja penampilannya. Tiap kali berpapasan dengan
asisten dosen cerdas itu, aku akan kehilangan kemampuan berpikirku dan lidahku
kelu serta gagu.
“Ayo dong disapa, Div. Jangan Cuma
bengong kaya gitu,” Lia menyenggol tubuhku yang sedang berdiri kaku di samping
laboratorium bahasa.
Setelah sepersekian detik menahan
nafas, akhirnya ia berlalu juga, dan akupun bisa menghirup oksigen dengan
lega,”Nggak bisa. Aku malu.”
Lia mengacak rambut sebahuku dengan
gemas,”Lihat. Kamu sampai kehilangan kemampuan bicara tiap kali berpapasan
dengan Kak Fendi. Mau sampai kapan kamu naksir dia diam-diam? Apa kamu nunggu
sampai itik bertelur anak ayam?”
Aku hanya mengedikkan bahu tanda
acuh. Sebelum aku melangkah lagi, aku sengaja menoleh ke belakang. Aih, punggung tegap itu membuatku
berdebar. Sungguh aku ingin sekali sesekali bisa bersandar di punggungnya dan
mendengarkan suara serak merdu itu menjelaskan teori Pengantar Akuntansi.
“PDKT yang sungguh-sungguh dong.
Masa kamu mau keduluan si Tika, lihat tuh dia selalu rajin nempel sama Kak Fendi,”
sergah Lia sedikit keki melihat sosok cantik Tika menyapa Kak Fendi dengan
genit.
Kak Fendi memang memiliki sikap
ramah. Masalahnya, aku tak punya keberanian seperti Tika atau gadis-gadis lain
yang berani mendekati Kak Fendi. Bagiku ia bagai matahari yang membuat hangat
orang-orang di sekitarnya, sementara aku hanyalah seseorang yang mungkin
namanya saja tidak ia ingat dan hanya berani melihatnya dari sudut gelap dan
teduh.
***
“Udah denger kabar terbaru? Kak
Fendi berhasil menjadi mahasiswa teladan tahun ini, dan dua minggu lagi ia akan
mengikuti pertukaran mahasiswa selama satu tahun di Australia,” celoteh Lia.
Dua minggu lagi? Kenapa secepat
ini? Lalu mengapa aku menjadi segelisah ini? Bukannya aku hanya mengaguminya
saja? Mengapa setengah hatiku berharap tidak ingin melihatnya pergi?
“Kamu harus gerak cepat,” ujar Lia
seraya menatap mataku serius.
“Serius buat apa?” tanyaku.
“Kamu harus dekati Kak Fendi dan
utarakan perasaanmu.”
“Whaat? Aku ini cewek. Dan lagi aku ini nggak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan cewek-cewek itu,” aku memekik pelan sembari melirik Tika
yang berpakaian modis dan segar serta beberapa gadis manis dan percaya diri
lainnya yang juga menyukai Kak Fendi.
“Hei, kan ada aku di sini. Cukup
turuti dan lakukan semua wejangan yang kuberikan. Reputasiku sebagai mak
comblang sudah sangat teruji. Masa aku nggak bisa nyomblangin sobatku sendiri,”
Dan inilah jadinya diriku sekarang.
Sesuai dengan arahan Lia, kacamata minusku telah berganti soft lens warna cokelat, jins gombrongku berganti skinny jeans, dan kemeja kebesaranku
berganti blus yang cenderung feminin. Seketika penampilan jadulku berganti
menjadi sedikit lebih modern. Tapi masalahnya, mulutku masih tak bisa kupaksa
bicara. Tetap saja pribadiku yang gagu ini, tak mampu menyapa orang yang kukagumi
walau hanya sepatah kata.
Memalukan. Saat aku bnar-benar
berpapasan dan mampu memanggil namanya, mulutku justru tak mau bersahabat.
Saraf bicaraku mengunci, enggan membuka. Kak Fendi hanya memandangku heran.
Bahkan Tika dan beberapa teman lainnya memandangku aneh karena aku hanya
menyapa lalu bisu seketika. Lia memanggil namaku, namun aku terlanjur pias dan
malu.
“Kenapa kamu malah lari?” sembur
Lia tak sabar.
“Aku malu. Penampilanku sekarang
ini bukanlah gayaku sebenarnya. Memang banyak yang memuji perubahan
penampilanku, tapi ini membuatku tidak nyaman. Sorry, Lia,” aku berusaha
menahan tangis. Memang aku justru merasa tidak nyaman ketika menjadi perhatian
orang lain. Aku masih nyaman berdiam di sudut gelap.
Lia menunjukkan raut wajah penuh
penyesalan. Aku tahu ini bukan salahnya. Aku tak tahu bagaimana caranya
menonjolkan diri. Aku takut akan ada sikap penolakan atau menjadi terlalu salah
tingkah tingkah di hadapan Kak Fendi. Jika memang aku hanya sekedar kagum,
mengapa aku bisa segelisah ini? Apakah perasaanku ini sudah naik satu tingkat
menjadi cinta? Ah, tidak mungkin begitu.
“Aku ingin sendiri Li, maaf ya.”
Hanya itu yang bisa kukatakan pada Lia. Lia bisa memaklumi dan meninggalkanku
sendirian di gazebo dekat taman kampus.
Sudah beberapa hari aku berganti
penampilan. Namun hasilnya tetap saja, aku masih merasa minder. Sementara waktu
keberangkatan Kak Fendi semakin dekat, dan aku mungkin hanya akan menjadi
penggemar rahasianya. Kejadian tadi membuatku semakin malu untuk bertemu dengan
Kak Fendi lagi.
“Diva, boleh aku duduk di sini?”
sebuah suara yang sering kurindukan membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk
mempersilahkan.
Kak Fendi menunjukkan buku catatan
warna pink padaku. Itu buku catatan yang berisikan karya puisiku dan hilang
seminggu yang lalu.
“Sudah lama ingin kukembalikan, aku
tak sengaja menemukannya di meja kelas, tapi rasanya aku malu untuk sekedar
menyapa,” tukasnya dengan senyum penuh arti.
Aku membuka buku catatan itu, ada
sebuah memo kecil terselip di dalamnya. Isinya membuatku tertegun dan
berbunga-bunga.
“Sudah lama aku mengamatimu. Kamu
selalu tampak cantik di mataku. Buku catatan ini sebenarnya ingin kujadikan
alat agar bisa ngobrol sama kamu. Emm, kamu bisa tunggu kepulanganku?” tanyanya
penuh harap.
Aku tersenyum. Jawaban itu sudah
tampak jelas di mataku. Ya, baru kumengerti, rupanya ini yang dinamakan rindu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar