Hari Ibu, Bukan Mother's Day





22 Desember baru saja berlalu. Dan hingar-bingar kawan-kawan di media sosial mengucapkan selamat untuk ibu mereka masing-masing, menghiasi beranda saya. Saya pun tahun lalu mengucapkan Selamat Hari Ibu kepada Mama, namun tahun ini tidak. Kenapa? Karena esensinya, Mama berhak mendapat ucapan terima kasih tiap hari, dan 22 Desember itu hakekatnya hari untuk perjuangan perempuan Indonesia, tak hanya tertutup untuk para ibu yang sudah melahirkan buah hatinya.


Salah kaprah ini menjadikan Hari Ibu dipersempit maknanya. Untuk memperingati Hari Ibu, banyak sekolah yang menyelenggarakan acara berkesenian dan berpakaian tradisional. Lalu di sisi lain, mendorong perempuan hanya memaknai dari segi tugas tradisionalnya saja. Apakah perempuan yang belum menikah tidak berhak mendapat ucapan Selamat Hari Ibu? Apakah seorang istri yang tidak memiliki keturunan (baik yang belum diberi rezeki maupun memutuskan childfree) juga tidak layak mendapat semangat di Hari Ibu?


Marilah menilik sejarah dan meluruskan kembali niat berkembang serta berdaya di Hari Ibu.


Sejarah Kongres Perempuan

Presiden Soekarno meresmikan 22 Desember sebagai Hari Ibu di bawah Keppres RI No. 316 tahun 1959, di peringatan ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Kongres Perempuan dilaksanakan sebagai bentuk semangat perempuan Indonesia untuk meningkatkan kesadaran berbangsa serta bernegara (dilansir di Wikipedia). 

(Sumber: historia.id)

Kongres dihadiri tiga puluh organisasi wanita dari 12 kota baik Jawa dan Sumatra. Sebenarnya sejak tahun 1912 organisasi wanita sudah berdiri dan semangat mereka terinspirasi dari para pahlawan perempuan abad 19, sebut saja RA Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyk Meutia, Dewi Sartika, dll. Jika menilik sejarah yang melatarbelakangi semangat didirikannya organisasi dan terakumulasi diselenggarakannya Kongres Perempuan ini menunjukkan jika Hari Ibu bukanlah sekadar seremonial untuk para ibu kandung kita, melainkan untuk keberdayaan dan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya.


21 April yang ditentukan Presiden Soekarno sebagai Hari Kartini untuk mengenang masa perjuangan emansipasi wanita mendapat protes dari beberapa kalangan. Mereka yang kontra dengan Hari Kartini berpendapat jika Kartini hanya berjuang di lingkup daerahnya saja yakni Rembang dan terlalu dekat dengan tokoh Belanda yang notabene menjadi penjajah. Tokoh perempuan lain seperti Cut Nyak Dien juga berhak mendapat apresiasi. Maka untuk mengakomodasi penghargaan pada pahlawan-pahwalan perempuan lain, presiden mengemukakan bahwa Hari Ibu Nasional pada 22 Desember (sumber di Wikipedia).


Jangan Hanya Meyakini Tanpa Perenungan Diri

Setelah tahu sejarah dan latar belakang Hari Ibu milik kita, sudah selayaknya kita juga memberi selamat untuk diri sendiri. Sebagai perempuan apakah kita sudah berkontribusi sebaik mungkin sesuai peran, profesi dan kesempatan yang kita punya?

three women holding hand in front of flower garden
(Sumber: Unsplash by @priscilladupreez)




Ibu rumah tangga berperan mendidik generasi penerus bangsa sebaik mungkin, Ibu Guru mendidik muridnya, seorang pegawai perempuan juga bekerja sebaik mungkin unuk memenuhi nafkah dirinya serta keluarga, Ibu Ustadzah memberikan pendidikan agama di lingkungannya, serta para perempuan yang tak hanya dipandang dari fungsi seksualitasnya melainkan penghargaan sebagai manusia, bukannya makhluk kelas dua.


Perempuan rawan saling mencibiri sesamanya soal kecantikan, kekayaan, bahkan semacam seorang perempuan belum menikah atau belum punya anak pun tak luput dari cibiran. Perempuan seharusnya saling mendukung sesamanya. Sinergi perempuan inilah yang diajarkan oleh para pendahulu kita di Kongres Perempuan. 


Jadi mulai sekarang jangan hanya mengucapkan Selamat Hari Ibu untuk ibu yang melahirkan dan membesarkan kita. Hari Ibu adalah hari kita bersama, dari perempuan dan untuk perempuan Indonesia.
 

Tidak ada komentar