Jalan-jalan
atau traveling adalah kegiatan yang
saya sukai. Hal ini menjadi aktivitas favorit selain menulis, membaca, dan
menonton film. Kedua orang tua saya juga gemar menyisihkan waktu untuk
berwisata keluarga. Dan mengunjungi cagar budaya Indonesia adalah salah satu
tempat yang sering masuk di dalam daftar tujuan kami.
Ketika saya
beranjak dewasa, rasa cinta pada tempat-tempat bernilai sejarah itu makin
mengakar kuat. Bahkan sampai teman yang sering traveling bersama pun sampai hapal.
“Kalau ngajak
kamu, selain mencari tempat yang alamnya bagus atau ada ketinggian, kamu suka
tempat yang unik dan ada nilai sejarahnya,” kata mereka. Itu tepat sekali.
Lalu saya
bertanya pada teman-teman mengapa mereka tidak terlalu tertarik untuk datang ke
museum atau candi. Sebagian menjawab karena penampakannya sama saja, hanya
berupa tumpukan batu. Inilah kesedihan kedua yang saya rasakan selain
tangan-tangan usil yang merusak cagar budaya secara perlahan. Saya takut cagar
budaya Indonesia mulai memudar di ingatan.
Ada tindakan
yang bisa dilakukan oleh masyarakat—termasuk kita—agar cagar budaya ini tetap
lestari. Semua itu tidak butuh tindakan muluk-muluk, hanya butuh konsistensi.
Dan semua itu bermula dari keluarga serta diri sendiri.
1. Topik Obrolan tentang Cagar Budaya di Keluarga
Saya setuju jika rasa cinta pada cagar budaya itu
harus dipupuk sejak dini. Beruntungnya saya tumbuh di tengah keluarga yang tak
hanya suka jalan-jalan tetapi juga senang mengajak dialog bergizi, seperti
obrolan tentang sejarah dan peninggalannya. Papa adalah penggemar pelajaran Sejarah sejak masih
sekolah. Beliau juga hobi membaca dan fans berat cerita wayang. Otomatis sejak
kecil saya dan adik tidak asing dengan musik gamelan, menonton ludruk di DVD,
dan mendengar dongeng tentang legenda di dalam negeri.
Ketika sedang membicarakan soal mitos dan legenda itu,
Papa juga menunjukkan peninggalan bersejarah di dalam buku atau foto. Contohnya
saja saat saya bertanya tentang Kerajaan Majapahit sewaktu masih SD, Papa
menceritakan kegagahan Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk sambil menunjukkan di
mana tempat sisa kejayaan Majapahit. Rasa cinta beliau dituturkan dalam cerita
sehari-hari lalu sesekali kami diajak ke tempat bersejarah untuk merasakan atmosfernya.
![]() |
Adik dan Papa berpose sebelum masuk candi :D |
Perjalanan terakhir kami di tahun 2019 adalah pada
libur lebaran lalu. Saya belum pernah berkunjung ke Candi Cetho dan mendapat
informasi dari rekan kerja jika daerahnya sejuk serta indah. Papa pun langsung
mencari tahu soal candi itu. Jenis gaya candinya yang berbeda style dengan candi hindu lain, malah seperti
peninggalan bangsa Sumeria, membuat kami tertarik. Candi ini berlokasi di Desa Gumeng, Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi ini diperkirakan dibangun di abad ke-15 dan baru ditemukan oleh seorang sejarahwan Belanda bernama Van de Vlies pada 1842. Penggalian dan pemugaran pun dilakukan. Suhu udara dingin serta diselingi kabut menambah pesona eksotis Candi Cetho. Dari sini kita juga bisa mampir ke Kebun Teh Kemuning.
Candi ini diperkirakan dibangun di abad ke-15 dan baru ditemukan oleh seorang sejarahwan Belanda bernama Van de Vlies pada 1842. Penggalian dan pemugaran pun dilakukan. Suhu udara dingin serta diselingi kabut menambah pesona eksotis Candi Cetho. Dari sini kita juga bisa mampir ke Kebun Teh Kemuning.
![]() |
Jalan menuju candi utama, pendopo untuk tempat diskusi dan peribadatan |
Saat sampai di tempat menginap, Papa menunjukkan pada
saya wayang mainan Dasamuka atau Rahwana yang dipajang di sana. “Saat kita mau
masuk Candi Cetho, kita diminta memakai sarung hitam putih. Ini sarung yang
dipakai Anoman. Di bawah daerah Candi Cetho ada Candi Kethek kan? Bisa jadi
tempat ini punya legenda Anoman yang melawan Dasamuka dan petilasannya termasuk
di sini.” Memang Candi Kethek adalah kawasan candi yang dipenuhi monyet.
![]() |
Arca yang ditata membentuk kura-kura, seperti peninggalan Bangsa Sumeria |
Karena ketertarikan orang tua itulah acara liburan
tidak hanya menjadi ajang foto-foto lalu dipajang di media sosial. Belajar dari
Papa, saya berniat nanti juga akan menumbuhkan bibit kecintaan cagar budaya
pada anak lewat cerita dan juga obrolan singkat kami. Sejarah bukan lagi
menjadi topik yang berat atau membosankan jika dilakukan tiap hari.
2. Mengambil Peran untuk Menyebarkan Cinta Cagar Budaya Lewat Seni
Sebagai individu, kita bisa memilih untuk menyebarkan
kecintaan lewat seni. Saya suka sekali mencatat jurnal perjalanan di dalam
blog. Jadi setelah mengunjungi sebuah tempat atau situs cagar budaya,
pengalaman itu saya tulis semenarik mungkin dengan foto yang mewakili.
Bagi Anda yang suka fotografi pun harus menyempatkan untuk
mengambil angle terbaik dari cagar
budayanya. Atau memindahkan keindahan tempatnya di dalam kanvas juga termasuk
dalam hal yang mengesankan. Kecintaan yang dibungkus dalam seni bernilai, mempermudah
orang lain untuk mengetahui lokasi serta kecantikan cagar budayanya.
![]() |
Sebagai blogger, saya tulis pengalaman kemari |
Nah, yang saya lakukan tentu menyebarkan pengalaman
menjelajah Candi Cetho melalui tulisan. Saya mengirimkan catatan perjalanan
selama liburan ke media daring lain selain blog pribadi. Tak hanya mendapat fee, karena dimuat di media daring yang
banyak pembacanya, maka lebih banyak lagi orang yang akan tahu.
![]() | |
Bagian candi utama, foto utuhnya terhapus, terlihat kakinya menyerupai kubus mirip candi Buddha dan Sumeria |
Kerabat saya
tak banyak yang tahu soal Candi Cetho, popularitasnya masih kalah dengan
Borobudur dan Prambanan. Padahal tempatnya yang dingin dan sejuk karena berada
di lereng Gunung Lawu, sangat eksotis jika dijelajahi. Candi ini peninggalan Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Di berbagai sumber dinyatakan jika daerah ini tempat Raja Brawijaya bertapa. Didesain untuk pemeluk agama Hindu namun uniknya bentuk candi seperti Buddha dan campuran gaya suku Maya atau Inca di Amerika Selatan.
3. Pembatasan Perlakuan pada Cagar Budaya
Saat sampai di Candi Cetho ada satu hal yang membuat
saya agak risih. Pengunjung di waktu liburan panjang sangat membludak hingga
memenuhi area. Area bagian dalam candi tidaklah luas, jadinya momen
menikmatinya pun jadi agak terganggu. Candi Cetho masih aktif digunakan sebagai
tempat peribadatan pemeluk Hindu dan Kejawen, maka kesakralan itu harusnya bisa
dijaga oleh pengunjungnya.
![]() |
Di banyak bagian candi, masih tercium aroma dupa karena masih digunakan untuk beribadah pemeluk Hindu dan Kejawen |
Di sini peran pemerintah setempat dan warganya harus
bersinergi secara kompak dan suportif. Akan lebih baik jika pengunjung dibagi
jam masuknya dan satu rombongan kecil didampingi guide dari warga setempat. Seperti yang saya alami di Museum Ullen
Sentalu. Satu rombongan terdiri dari 10 sampai 15 orang bersama seorang guide lokal. Sambil berkeliling, kami
diberitahu fakta sejarah barang yang dipajang di dalam museum.
Akan sangat baik sekali jika Candi Cetho memberlakukan
hal yang sama. Banyak sekali hal unik yang tidak bisa didapat hanya dengan
berkeliling sendiri. Saya mendengar salah satu pengunjung yang bertanya-tanya, “Ini
kenapa arcanya nggak kaya candi yang lain ya? Kaya Suku Inca gitu?” Saya pun
banyak tahu fakta historisnya dari Google.
![]() |
Di dalam halaman pertama candi, takutnya terlalu ramai akhirnya area candi tidak terjaga |
Dengan pembatasan jumlah pengunjung dan masuk ke dalam
area candi hanya bersama guide, maka hal-hal buruk seperti
vandalisme bisa lebih mudah dicegah. Pengunjung dapat wawasan baru, pengelola
pun lebih mudah mengawasi. Tak masalah jika harus menunggu 15 menit sekali
sampai satu rombongan berikutnya boleh masuk. Hal itu lebih baik daripada
kesakralan candi terganggu karena ketidaktahuan pengunjung.
Inilah tiga hal yang bisa kita lakukan
agar Candi Cetho makin dikenal publik sekaligus tetap terhindar dari perilaku
tidak bertanggungjawab pengunjungnya. Semoga cagar budaya Indonesia makin
lestari secara fisik maupun terpatri di dalam hati serta ingatan. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah berpartisipasi pada Kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!"
1 komentar
Cagar yang megah, indah dan kudu dijaga, biar gak hilang dan terus dapat menjadi saksi sejarah
Posting Komentar