Suatu sore ketika saya sedang menunggu teman
sekantor untuk nebeng ke depan
gerbang kawasan industri untuk pulang, salah satu rekan kerja saya (sudah
bapak-bapak), mendadak berkomentar. “Bosmu itu aneh ya, kaya perempuan. Mungkin
efek dari tindakannya di rumahnya. Masa laki-laki kok yang bagian masak sama
belanja di pasar?”
Langsung mulut saya yang pedas dan tidak suka
kalau ada orang lain nyinyir dengan pilihan hidup orang yang tidak terlalu
dikenal, ingin menyambar. Saya ingin berteriak, “Emang situ sebagai laki udah
bener?” Untungnya, bisa saya cegah.
Toxic Masculinity yang Menyebalkan
Atasan saya adalah sosok pria yang bekerja
keras dan selalu mengedepankan anak serta istrinya di dalam pengambilan
keputusan apapun. Saya bisa bicara seperti itu karena beliau selain membicarakan pekerjaan, juga
selalu menceritakan perkembangan anak-anaknya. Justru saya kagum dengan atasan
saya itu, seperti halnya saya mengagumi Papa.
“Justru kalau saya memiliki suami seperti si
Bos, saya bahagia dan bersyukur, Pak. Istrinya tidak bekerja, di rumah sudah
mengasuh ketiga anaknya, menjaga anaknya 24 jam. Bos saya bilang, apa salahnya
kalau suami membantu memasak dan belanja? Itu hanya sedikit bantuan untuk
istri. Mengasuh anak itu sangat melelahkan. Toh dalam rumah tangga, suami istri
itu sifatnya harus bekerjasama dengan peran yang sudah ada. Bos saya yang
bekerja keras demi memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, itu sudah kewajibannya.
Kenapa hanya dengan memasak, lalu kelaki-lakiannya diragukan?” Itu yang saya
katakan pada si tukang nyinyir. Mukanya jelas masam karena saya tidak setuju
dengan pemikirannya yang toxic
sebagai laki-laki.
Source: Sundry Photography/Shutterstock |
Pemikiran-pemikiran sempit inilah yang saya
sebut toxic masculinity. Masyarakat
kita selalu bilang, “Masa anak laki-laki nangis hanya karena sedih? Jadi laki
nggak boleh nangis.” Atau kalimat lain seperti ini. “Laki itu nggak seharusnya masak,
itu kan tugasnya istri. Nggak perlu bangun malam untuk menidurkan bayi yang
rewel, itu kan tugas ibunya buat menggendong.”
(Baca Juga: Keegoisan Seorang Pria dan Harga Diri Wanita)
(Baca Juga: Keegoisan Seorang Pria dan Harga Diri Wanita)
Hah? Lucu sekali pemikiran dangkal seperti
itu. Memang sudah ada kodrat yang juga saya setujui antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki bertugas mencari nafkah, perempuan menjadi guru pertama
untuk anak-anaknya dan menjadi pendukung suami. Hanya dalam beberapa kasus
misalnya suami sakit dan mendapat musibah, lalu istri membantu mencari nafkah. Ataupun
jikalau suami dan istri sama-sama mencari uang juga bukan hal yang bisa
disalahkan, karena sudah sesuai kesepakatan bersama.
Hanya saja yang konyol jika masih saja ada yang membagi tugas keseharian karena gender. Laki-laki pun juga manusia, kenapa dia tidak boleh menangis jika sedang kehilangan?
Memasak bukanlah hal yang tabu, malah sekarang koki pria itu banyak sekali jumlahnya. Lihat saja bagaimana gagahnya Chef Juna dan Chef Arnold di acara Master Chef. Apa mereka kurang jantan sosoknya? Apa salahnya dengan perempuan yang bisa memperbaiki genteng bocor dan mengganti bola lampu sendiri?
Pelabelan pada pekerjaan sehari-hari adalah
produk salah yang dihasilkan dari pemikiran
toxic masculinity. Nah, saya pikir dari pikiran inilah makanya budaya
patriarki pun menguat. Sosok laki-laki diwajibkan lebih superior dibanding
perempuan. Perempuan yang tangguh dan mandiri, menjadi momok menakutkan bagi
para pemuja patriarki.
Peran
Keluarga dan Lingkungan Paling Penting dalam Hal Kesetaraan
Kedua orang tua saya adalah wujud rumah tangga yang ingin saya
miliki. Papa bekerja untuk mencari nafkah, Mama memang tidak diizinkan bekerja
di luar karena kondisi fisik tidak memungkinkan (saat hamil harus bed rest total karena berisiko), namun
Mama diizinkan untuk mengikuti kegiatan organisasi di luar rumah. Mama selalu meminta izin pada Papa jika akan
bepergian. Kalau
izin didapat barulah Mama pergi.
Karena Papa pulang sampai larut malam dan Mama
lebih banyak di rumah, tentu saja memasak dan mengurus kebutuhan rumah itu
menjadi tugas Mama. Papa selalu memberikan gajinya sepenuhnya untuk diatur
Mama. Jika
hendak membeli
sesuatu, juga masih meminta pertimbangan dari Mama. Keduanya bekerjasama secara
harmonis dengan tugas masing-masing tanpa perlu berkata, “Aku suami, makanya
kamu harus begini. Aku istri, kamu harusnya begitu.” Konflik dan perselisihan pendapat
dibicarakan secara terbuka agar tidak menjadi masalah berlarut-larut.
Source: @timmosholder (Unsplash) |
Hal unik adalah saat ada genteng bocor atau
masalah listrik di rumah, Mama selalu mencari orang lain atau tukang untuk membetulkan. Waktu kecil saya
bertanya, “Kenapa bukan Papa yang benerin genteng? Ayahnya teman-temanku bisa
benerin genteng sendiri, bisa menggergaji kayu sendiri.”
“Papamu tidak bisa pekerjaan menukang, ya kita panggil saja orang yang bsia
bantu,” kata Mama. Dan tidak saya lihat tuntutan dari Mama agar Papa mau belajar menukang.
Di saat Mama saya kelelahan dan tidak memasak,
Papa akan bilang,”Mama capek, badannya agak nggak enak. Ayo beli lauk di luar
aja.”
Tidak ada tuntutan agar Mama wajib memasak
kalau memang tubuhnya sedang tidak fit. Tak perlu ada acara mengomel dan menyindir Mama
karena memasak adalah tugasnya. Kedua orang tua saya mendorong saya untuk berkarya, bermimpi dan
meraih pendidikan terbaik tanpa melihat gender. Dan tentunya saya tetap diajari tata
krama sebagai manusia dan calon ibu nantinya. Kesetaraan tanpa menyalahi
kodrat. Setara tanpa menghina orang lain. Suami istri harusnya bekerjasama,
bukannya melebihkan diri lalu memandang rendah posisi pasangannya.
Jadi jika sebagai
perempuan kita sering berteriak soal seksisme, omongan misoginis dan patriarki
laki-laki, tak ada salahnya menilik soal toxic masculinity. Perempuan dan
laki-laki memang memiliki fungsi dan proporsi berbeda di dalam keluarga, namun
untuk soal jenis pekerjaan atau perasaan, tidak seharusnya menjadi batasan kaku
yang membatasi ruang gerak masing-masing.
6 komentar
Hmmm setuju nih Mbak, kalau seorang pria juga nggak selalunya kuat kan. Apalagi kalau ditinggalkan dia juga bisa menangis
Bener mbak. Justru laki-laki yang memiliki sisi sensitif, tidak akan semena-mene di saat perempuan butuh bantuannya
aku setuju dengan artikel diatas. jangan menilai bahwa laki-laki itu tidak pantas mengerjakan pekerjaan rumah tangga. toh Rasulullah SAW juga ikut membantu pekerjaan rumah tangga.
Saya nonton drama korea saja bisa nangis kalau adegannya memang menyentuh. 🤣
nah, bener mbk. Kdang gemes sama laki yg ngotak-ngotakin kerjaaan, lha kalau ada suami bantuin masak, sebagai perempuan jelas aku bahagia hahahahah
gapapa mas, air mata tidak akan mengurangi nilaimu sebagai lelaki wkwk
Posting Komentar