Hidup di Indonesia, terutama sebagai perempuan
bukanlah hal mudah. Saya merasakanya sendiri. Meskipun isu kesetaraan telah
digaungkan sejak era Kartini, budaya patriarki ini masih mendarah daging di
tengah masyarakat. Saya merasakannya sebagai duri tak nampak yang masih
dielu-elukan oleh sebagian orang.
Saya adalah perempuan yang kini berada di atas
25 tahun. Namun walau usia saya masih terbilang muda, saya malah merasa tua.
Banyak kawan yang menyindir apa yang akan saya tunggu jika tidak menikah
sekarang? Kata mereka jangan sampai menikah di atas usia 30 tahun karena
takutnya nanti usia saya dengan anak terlampau jauh. Jika jarak antara orang
tua dan anak terlalu jauh, dikhawatirkan saya tidak kuat untuk mengasuh dan
membiayai anak hingga pendidikan tertinggi.
Karena sering mendengar input negatif seperti
itu, mau tak mau saya mulai menyalahkan diri sendiri. Orang tua yang memang
mengharapkan saya menikah tetapi tidak pernah memberi tekanan, kalah dengan
suara negatif yang sering saya dengar.
Tiap kali ada kawan sekantor atau kenalan seusia saya yang menikah, saya merasa
seperti tertinggal kereta. Kadang-kadang saya menyalahkan diri sendiri, apakah
standar yang saya pasang untuk calon suami ini terlalu tinggi? Padahal jika ditilik
lagi, saya malah tidak mensyaratkan ketampanan sebagai kriteria.
Selain soal pernikahan, ada banyak hal yang
terjadi di sekitar saya sehingga membuat saya pernah berpikir jika lebih enak terlahir
sebagai laki-laki ketimbang perempuan. Kami adalah makhluk kelas dua.
Perempuan Dilarang Pintar
Hal pertama yang sering membuat perempuan itu
dicibir adalah tentang mengenyam pendidikan tertinggi. Sering saya membaca
contoh kasus perempuan yang belum menikah hingga usia di atas 30 dan memiliki
gelar akademik prestisius, dituding sebagai perempuan pemilih. Padahal di mata
saya, perempuan yang bisa meraih gelar master hingga doktoral di usia relatif
muda itu sangat keren. Mereka adalah calon ibu cerdas yang bisa dimiliki
anak-anaknya nanti. Nyatanya hal itu berbeda di mata orang banyak.
![]() |
(Unsplash: @jasminecoro) |
“Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya
kamu jadi sok pintar di depan suamimu? Laki-laki tidak suka perempuan yang
lebih pintar darinya.”
Dulu di saat saya memiliki hubungan serius dengan
seorang laki-laki dan menyampaikan niat untuk mengejar beasiswa S2, orang tua
yang malah menggandoli. S2 bisa saya ambil sesudah menikah, atau menunggu saya
menikah dulu baru berpikir soal pendidikan selanjutnya. Maka saya kesampingkan
niat mengejar S2 lalu merencanakan pernikahan dengan kekasih yang kini telah
menjadi mantan. Di awal dulu, mantan kekasih bilang jika dia sangat senang
karena akan mempunyai calon ibu cerdas untuk anak-anaknya. Lucunya, dia malah
berselingkuh dengan perempuan yang bagi teman-teman waktu itu, tidak setara
kecerdasannya dengan saya.
(Baca Juga: Perempuan Tak Boleh Dilarang Pintar)
(Baca Juga: Perempuan Tak Boleh Dilarang Pintar)
Serta-merta saya pun mengkaji ulang. Apakah
kecerdasan dan passion saya untuk terus belajar ini membuat saya semakin tidak menarik?
Dulu katanya saya menarik karena memiliki passion sebagai penulis dan juga
cerdas, tetapi kenapa kekasih malah mendua dengan perempuan yang lebih
memedulikan penampilan ketimbang tingkah lakunya? Saya bisa bilang begitu,
sebab si perempuan kedua jelas-jelas menambahkan saya sebagai teman di Facebook,
seolah saya ingin dibuat cemburu.
Memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan
di usia 24 tahun, ternyata adalah keputusan terbaik bagi saya. Lucunya lagi,
banyak yang menyalahkan keputusan saya. Katanya saya diminta untuk tidak
terlihat terlalu pintar agar laki-laki tidak takut mendekat.
“Jadi apa aku harus menampilkan diri sebagai
cewek bodoh yang gampang dibohongi?” tanya saya pada diri sendiri, dan
jawabannya tentu saja saya tidak mau.
Kegagalan hubungan saya toh bukan karena
mantan kekasih takut dengan isi otak saya. Dia mendukung rencana pendidikan
master saya, namun mudah tergoda dengan perempuan yang terlihat lebih menggoda
dan molek penampilannya. Selama ini saya juga tidak pernah meremehkan kemampuan
atau cara berpikirnya, bagaimana bisa saya dibilang sok?
(Baca Juga: Ketika Perempuan Patah Hati)
(Baca Juga: Ketika Perempuan Patah Hati)
Lalu saya memiliki teman yang kebetulan dulu satu sekolah, setelah menikah dan memiliki buah hati dia mendapat kesempatan untuk mendapat beasiswa master.
Nyatanya, kini selain menjadi ibu yang baik bagi keluarganya, dia bisa
berprestasi sebagai ibu rumah tangga sekaligus mengejar impiannya untuk berkuliah di luar negeri dengan beasiswa. Lalu aktris idola saya
Dian Sastro pun meraih gelar S2 setelah memiliki dua anak. Para ibu hebat ini
didukung oleh anak dan juga suami. Saya pun mulai percaya diri jika tidak ada
yang salah untuk menjadi perempuan cerdas dan berpendidikan tinggi walaupun
cibiran masih banyak yang menghampiri.
Penampilan Perempuan Dianggap Sumber Masalah
Di tengah budaya yang misoginis seperti saat
ini, jika terjadi pemerkosaan atau pelecehan, biasanya perempuan juga akan
menjadi pihak yang disalahkan.
“Kamu sih nggak pakai hijab, makanya digodain,”
Itulah salah satu kalimat yang terlontar jika ada seorang perempuan tak
berhijab yang keberatan jika menerima catcalling.
Bagi perempuan muslim, berhijab memang kewajiban, namun perkara dilecehkan itu
adalah masalah otak pria yang mesum. Banyak sekali kasus pelecehan seksual dan
pemerkosaan yang terjadi pada perempuan berhijab, yang pakaiannya sama sekali
tidak menunjukkan lekuk tubuh.
Pemerkosaan dan pelecehan itu murni salah laki-laki.
Laki-laki yang tidak menghargai perempuan, mengumbar nafsu dan merasa dirinya sebagai makhluk superior sehingga meliarkan hawa nafsunya pada sembarang perempuan.
Jujur saja, saya pernah merasa trauma untuk
melalui tempat-tempat tertentu karena takut. Dulu di masa masih SMP, saya rutin
melewati suatu gang untuk berangkat dan pergi sekolah. Logikanya ketika melewati
wilayah perkampungan sendiri, tentu lebih aman. Saya juga rutin melewati gang
ini sejak SD, hanya saja suatu hari pipi saya dicolek seorang pemuda yang tidak
saya kenal. Hal itu terjadi ketika sepeda yang saya naiki berhenti sebentar
untuk menghindari anak-anak kecil yang sedang berlarian. Kejadian itu sore
hari, tetapi tubuh saya rasanya gemetar. Saya takut, hingga saya menahan tangis
ketika mengayuh sepeda.
![]() |
(dok. Pixabay.com/Putu Elmira) |
Untuk seorang anak SMP, wajah disentuh dengan
kalimat melecehkan dan tatapan yang membuat diri takut, pasti bukanlah pengalaman
menyenangkan. Pakaian saya biasa saja, tidak mini sama sekali dan tidak
terbuka, tetapi perlakuan tidak pantas
itu saya terima. Apalagi bagi kawan perempuan lain yang mengalami pelecehan
lebih parah? Pantat diremas, payudara dicolek, dipeluk dari belakang adalah contoh
pelecehan yang bisa membuat seorang perempuan trauma.
Efeknya, perempuan pun harus patuh agar tidak
keluar malam jika tidak ada kepentingan. Seorang perempuan akan dibatasi ruang
geraknya agar keamanannya terjamin. Lucu sekali. yang membuat tidak aman itu
karena masih banyak laki-laki di lingkungan kami yang tidak bisa menghormati
perempuan. Maka jangan salahkan soal penampilan kami, laki-laki yang harus
mulai menggunakan otaknya lebih baik.
5 komentar
Saya kesel juga sih dengan statemen diatas seolah seorang perempuan itu ingin dilemahkan agar tak bisa menyaingi laki2 padahal nggak juga. saya pendidikan tinggi sudah sampai sarjana suami hanya lulus MAN aja tapi saya dan suami nggak sampai saling melecehkan atau apalah. kami lebih suka saling mengisi dan saling berbagi.
betul sekali, malah ahl ini ganggu kehidupan orang lain, standar hidupnya disuruh pakai buat orang lain. beuh, aku saja lihat anakku belum menikah di suainya sekarang tenag2 saja, eh malah yg ribut tetangga.
Nah mau perempuan sekolah tinggi atau tidak, karakter buruk itu dari pribadi bukan hanya dari level pendidikan.
Bener mbak, tetangga saya juga sama usil. Padahal keluarga ya woles, ortu jelas sesekali nanyain saya tapi tidak memberi tekanan tidak perlu
aku jadi inget kisah malala, nonton deh itu jadi motivasi besar dimana perempuan itu punya hak yang sama. perempuan bebas belajar, bebas melakukan apapun yang dia suka, bebas mengungkapkan pendapat, dan bebas berpenampilan. mau berhijab mau tidak bukan berarti perempuan bebas disalahkan hanya karena sumber yang menyebabkan pelecehan.
Posting Komentar