Sejak dulu saya penasaran apakah ketika sedang
berpuasa saya bisa melakukan kegiatan traveling?
Selama ini saya melakukan aktivitas sebatas bekerja, menulis, dan ngabuburit di
bulan Ramadan. Tidak ada rencana untuk traveling
di tengah kondisi berpuasa begini. Saya takut tidak bisa menahan haus dan lapar
hingga puasa terpaksa batal.
Ternyata angan-angan saya terjawab minggu
lalu. Di tanggal 12 Mei lalu saya diundang di acara rutin Komunlis, sebuah
komunitas literasi keren di Probolinggo, sebagai pembahas novel berjudul ‘Petrichor’.
Kak Stebby Julionatan selaku founder
Komunlis mengatakan akan mengajak saya berkeliling sejenak ke beberapa tempat
terkenal di Probolinggo.
Untuk acara utamanya sendiri diselenggarakan
jam tiga sore, tetapi apakah saya bisa jalan-jalan
saat puasa begitu? apalagi Probolinggo juga dikenal sebagai kota yang cukup
panas, tidak jauh dari Pasuruan atau Sidoarjo yang sudah saya akrabi. Namun
namanya kesempatan bisa saja tidak datang dua kali, maka saya setuju untuk
melakukan city tour singkat.
BJBR, Wisata
Alam dengan Sentuhan Romantis
Sesampainya di Terminal Probolinggo, saya
menunggu Kak Stebby yang baru selesai
kebaktian di gereja. Untuk mencapai kota Probolinggo, saya putuskan naik bus
patas jurusan Probolinggo-Jember yang berda di jalur nomor 5 kalau naik dari
Terminal Purabaya. Harga tiket bus sebesar 35 ribu.
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah BJBR
(Bee Jay Bakau Resort). Tempat ini termasuk masih relatif baru dan saat ini
tergolong tempat wisata hits di tengah anak muda. Tiket masuknya juga cukup
murah yaitu 25 ribu rupiah. Di kepala saya, BJBR ini sama dengan wisata mangrove di Surabaya. Saya tidak menaruh
ekspektasi tinggi. Nyatanya sesampainya saya di sana, saya tak berhenti
mengucap kagum. BJBR tertata rapi, bersih, dan suasananya instagramable.
Gerbang Bambu (doc. pribadi) |
Di pintu masuk ekowisata, saya disambut lorong
panjang ala Jepang. Bambu-bambu berwarna merah dibuat saling bersilangan
sehingga membuat suasananya khas di negeri sakura. Lalu saya disambut hamparan
luas pantai dangkal serta hutan bakau. Jalanan dibentuk dari pasir dan
kayu-kayu yang dibentuk seperti jalan dermaga kecil. Angin sepoi-sepoi dipadu
suara musik lembut membuat lingkungan makin terasa menenangkan. Beberapa orang
berseliweran naik sepeda. Karena mungkin sednag bulan puasa dan siang hari,
sedikit sekali pengunjung yang ada. Meskipun terik, saya sangat menikmatinya karena
terpesona dengan lingkungan yang sangat nyaman tersebut.
Panas bangeeet (doc. pribadi) |
Piramida dari botol plastik dan kolam hiu blacktip (doc. pribadi) |
Beberapa spot menarik terlihat seperti masjid
apung dengan desain vintage dan rustic. Sangat romantis jika menyelenggarakan
akad pernikahan di situ. Pengunjung bisa beribadah sembari mendengar debur laut
dangkal dan angin yang bertiup lembut. Spot lainnya adalah Gembok Cinta BJBR. Seperti
di Namsan Tower Korea Selatan, di sini banyak sekali gembok dengan tulisan
pesan cinta para pasangan yang berkunjung. Harapannya agar cinta mereka terkunci seperti kunci gembok
yang mereka pasang. Ini sih hanya bagian dari having fun, tetapi spot fotonya sangat menarik dan romantis.
Spot menarik lainnya adalah patung kuda troya
yang digunakan Glenn Fredly untuk konser, lalu ada Bola Dunia, serta Piramida
Botol. Bagi yang ingin menikmati suasana BJBR lebih lama, bisa menginap di
bungalo-bungalo cantik yang disediakan di bagian dalam BJBR. BJBR juga
mempopulerkan kegiatan recycling barang
bekas seperti yang ditunjukkan di Piramida Botol. Piramida tersebut dibangun
dari tumpukan botol bekas yang dicat warna-warni dan di sekitarnya terdapat
kolam kecil. Di dalam kolam ini dipelihara juga beberapa ekor hiu blacktip.
Di depan gembok cinta (doc. pribadi) |
Oya jangan lewatkan untuk mampir ke Beejay
Benua Beruang. Di sini kita bisa berfoto menggunakan kostum seperti yukata dan
baju khas Eropa. Ada spot menarik bersama boneka Teddy Bear dan Hello Kitty. Saya
mencoba untuk menonton di bioskop 6D-nya. Kita akan membayar lagi untuk
bioskop. Asyiknya hanya dengan dua pengunjung pun kami bisa masuk serta bisa
memilih dua film singkat. Kita tidak perlu antre lama-lama seperti di Jatim
Park.
Bersama Kak Stebby Julionatan, sastrawan muda Probolinggo (doc. pribadi) |
Wisata
Sejarah yang Berkesan
Berikutnya setelah puas menjelajahi BJBR, saya
beralih mengunjungi spot sejarah di Probolinggo. Tempat kedua adalah Museum Dr
Mohamad Saleh. Museum ini adalah rumah salah seorang dokter sekaligus cendekiawan
di masa penjajahan. Beliau lulus dari STOVIA lalu di usia 20 tahun bersama
kawannya Dr. Soetomo dan pemuda lainnya mendirikan pergerakan Budi Oetomo.
Di depan pintu rumah Dr Moh. Saleh (doc. pribadi) |
Di rumah ini, pengunjung dilarang mengambil
foto, jadi kita hanya bisa berfoto dari bangunan luar. Tiket masuknya pun
gratis. Seorang pemandu akan mengantar berkeliling sambil menjelaskan sejarah
hidup dokter yang banyak berjasa dalam membantu para pejuang ini dan juga
mengenalkan fungsi tiap sudut rumah.
Dr Mohamad Saleh adalah seorang penyuka buku. Rumahnya
pun rapi dengan perabotan indah yang tidak terkesan mencolok. Putra dan putri
beliau banyak yang menjadi tokoh penting di Indonesia, salah satunya
Abdulrahman Saleh yang kini namanya diabadikan sebagai nama bandara di kota
Malang.
Sambil berkeliling, saya bisa membayangkan bagaimana
dulu dokter menangani pasien di rumah yang juga dijadikan klinik. Beberapa
ranjang dan alat kedokteran masih terpajang rapi. Menariknya, ada sebuah atap berlubang, tanpa
tangga yang mengarah pada ruangan lain. Ruangan itu dulunya digunakan sebagai
tempat mengobati para pejuang terluka. Supaya pemerintah Hindia-Belanda tidak
tahu, maka ruangan tersebut dikamuflasekan sebagai atap.
Gereja Merah (doc. pribadi) |
Destinasi berikutnya saya mampir ke Gereja Merah. Gereja ini termasuk bangunan
bersejarah yang dibangun sejak tahun 1863 dan kini beralih nama menjadi Gereja
Immanuel. Uniknya, gereja yang warna utama berwarna merah tua ini dibangun
dengan sistem knock-down alias
bongkar pasang.
Bahan material bangunan didatangkan dari Belanda. Banyak wisatawan lokal dan mancanegara mampir ke Probolinggo demi mengunjungi gereja yang masih digunakan beribadah hingga kini. Gereja ini juga hanya ada dua di dunia, satunya lagi berada di Den Haag, Belanda.
Saya dan buku Red Thread (doc. pribadi) |
Bahan material bangunan didatangkan dari Belanda. Banyak wisatawan lokal dan mancanegara mampir ke Probolinggo demi mengunjungi gereja yang masih digunakan beribadah hingga kini. Gereja ini juga hanya ada dua di dunia, satunya lagi berada di Den Haag, Belanda.
Bincang-bincang
Novel Petrichor
Puas berkeliling ke beberapa landmark terkenal Probolinggo, saya
bergerak ke jadwal utama yaitu bincang-bincang literasi. Kegiatan diawali talkshow di radio yang dipandu oleh Kak
Stebby sebagai penyiar Suara Kota. Saya, Shalafy sebagai moderator dan Agustin
Handayani sebagai penulisnya, langsung terlibat diskusi seru terkait pengalaman
menulis kami.
Talkshow di radio Suara Kota Probolinggo (doc. pribadi) |
Selesai siaran, kami berpindah ke halaman
Togamas Probolinggo. Teman-teman Komunlis telah membuka acara dengan ramainya. Antusiasme
anak-anak muda yang datang juga sangat baik. Sebagai pemantik diskusi, saya
melihat semangat menulis adik-adik yang kebanyakan masih remaja juga cukup
berapi-api. Pertanyaan yang masuk terkait teknik menulis menunjukkan gairah
mereka dalam menulis.
Saya pulang setelah berbuka bersama
kawan-kawan Komunlis. Suasananya riuh dan hangat, ini pertama kalinya saya
merasa jika bedah buku bisa memiliki atmosfer ceria, seolah sedang berada di
acara ulang tahun. Santai namun tujuan acara tetap tersampaikan. Semoga berikutnya
saya bisa mampir ke acara Komunlis lagi dan menyerap suasana literasi dari
komunitas keren di kota mangga ini.
6 komentar
wih senengnya bisa ketemu sama komunitas penulis sekaligus jalan2 yaa
Saya malah jadi penasaran dengan BJBR. Kok kayaknya wajib dikunjungi, tuh.
wah keren juga
Iya seneng banget
Wajiiib
Mampir mba 😆
Posting Komentar