Bahagia Sesungguhnya Dimulai Dari Bahagia Untuk Orang Lain


tips hidup bahagia



Sering saya dengar kalimat bijak yang menyatakan bahwa sebelum berusaha membahagiakan orang lain, maka kita harus bahagia pada diri sendiri terlebih dahulu. Hal ini masuk akal karena bagaimana kita mau membuat orang lain bahagia kalau diri sendiri masih sering susah atau gundah? Saya setuju dengan anggapan itu maka saya lakukan banyak hal yang bisa membuat diri ini bahagia seperti traveling, menonton film di bioskop, membaca buku dan menulis. Efeknya setelah kebahagiaan diri ini tercukupi, saya menjadi merasa penuh dan siap memberikan dukungan untuk orang-orang tersayang.

Hingga pada suatu kejadian, ada teman yang mendapat beasiswa di luar negeri dan ada pula yang bisa mendapatkan cinta sejatinya, namun ada suatu riak di dalam hati saya.  Saya tidak pernah mendiskusikan masalah riak aneh itu pada siapapun. Akhirnya saya jadi rajin scrolling medsos si kenalan itu sambil dalam hati bertanya-tanya, kenapa hidupnya bisa bahagia semudah itu sementara saya masih begini-begini saja? Mendadak semua pencapaian yang saya miliki terasa kecil.

Saya merasa tidak benar-benar bahagia dengan kebahagiaan orang lain. Wah ini tanda bahaya!


tips hidup bahagia


Untungnya saja saya segera menyadari gejala buruk itu. Coba bayangkan jika saya tidak merasa salah dan terus berlarut dalam emosi negatif, pasti lama-lama kebahagiaan saya akan terkikis dan saya akan menjadi orang paling nyinyir di semua media sosial. Ih amit-amit! Lalu kembali lagi dengan pendapat bahwa bahagia itu harus dimulai dari diri sendiri, agaknya kurang pas kalau bercermin dari pengalaman yang saya alami. Bahagia itu seharusnya dimulai dari kita merasa benar-benar ikut tulus bergembira dengan kebahagiaan orang lain. Kalau untuk kebahagiaan orang lain saja sudah tulus, pasti diri sendiri sudah benar-benar bahagia terlebih dahulu.

Apakah saya punya formula khusus untuk menjadi orang yang hatinya selapang itu? Tentu saja tidak! Tetapi saya tahu di saat kapan seharusnya saya bisa mengatur pikiran agar bisa berubah positif jika ada aroma dengki mulai menyusup.

Orang Lain Mencapai Sesuatu yang Kita Inginkan
Nah ini yang paling sering memicu alarm cemburu pada diri saya dan mungkin bagi sebagian besar orang. Cemburu dan iri itu manusiawi karena kita bukan nabi yang ditakdirkan suci. Apalagi jika kita sudah bekerja keras dalam kurun waktu yang lama demi impian tertentu, tetapi hasilnya masih belum memuaskan, tiba-tiba ada kenalan yang mengumumkan keberhasilannya. Awalnya mata kita akan silau dan bibir berdecak kagum. Lalu kita akan bertanya-tanya dalam hati,”Kok dia bisa ya? Kenapa aku nggak?”

Lalu jika masih tidak ditanggulangi, kita mulai mencari pembenaran atas rasa cemburu itu. Kita merasa lebih layak atas keberhasilan itu daripada dia. Kita mulai mencibir bahwa dia hanya orang yang kebetulan beruntung dan ingin pamer. Wah, kalau sudah mulai begini maka sadarlah kalau kita mulai memasuki fase tidak bahagia.

Saya punya pengalaman lucu. Jadi ada teman lama yang bisa melanjutkan pendidikan master di luar negeri yang notabene menjadi salah satu impian saya sejak dulu. Karena banyak pertimbangan, kini saya mengesampingkan impian itu dan fokus untuk membangun impian di negeri sendiri. Bisa dibilang saya sangat iri dengan postingannya selama belajar di luar negeri. Namun pada suatu kesempatan, kami saling berkirim pesan dan dia berkata,”Aku merasa hidupku segini-segini aja dan aku salut banget sama kamu yang udah nerbitin banyak buku dan keren banget di acara-acara literasi.”
tips hidup bahagia



Yah, dia rupanya kagum dengan aktivitas literasi saya sementara tanpa dia ketahui, saya iri dengan pengalamannya. Kami memiliki hal yang diinginkan satu sama lain. Dari situlah saya sadar jika Tuhan punya maksud sendiri. Yang saya inginkan belum tentu saya butuhkan. Keinginan bersekolah di luar negeri itu tidak butuh-butuh amat buat karir saya. Passion saya adalah di bidang bahasa asing dan literasi, jadi inilah yang harusnya saya kembangkan. Bukan sekadar ikut gaya-gayaan sekolah di negeri seberang.

Saat Kita Susah dan Orang Lain Gembira
Namanya hidup pasti ada masa naik turun. Mustahil kita akan terus bahagia dan tidak merasakan sedih. Pernah tidak Anda mengalami di saat hati sedang marah, sedih atau kesal lalu ada teman yang datang dengan wajah gembira menyatakan pencapaiannya? Rasanya kita ingin marah dan juga barangkali minimal memasang wajah masam.

“Kamu itu nggak peka! Ngapain sih datang-datang bawa berita kalau kamu mau tunangan? Aku tuh lagi patah hati, tahu!” (Salah satu contoh kasusnya). Padahal si teman ini tidak tahu kalau kita baru saja patah hati. Bagaimana bisa tahu kalau kitanya tidak mau cerita?


tips hidup bahagia
source: @prochurchmedia (unsplash.com)


Memang kita harus belajar berempati dan harus belajar peka agar bisa memahami kondisi lawan bicara kita. Bagaimana kalau posisi itu dibalik? Sebagai orang yang sedang bersedih, kita mau menghargai kebahagiaan orang lain. Kedengarannya sulit, saya saja kadang-kadang gagal. Meskipun sulit, tetapi jika kita mau memiliki dua mindset itu, maka ego bisa diminimalisir. Kita harus berempati dan tahu bagaimana berbicara jika kenalan menunjukkan wajah sedih atau tidak berminat. Sebaliknya, kalau sedang susah maka jangan mengajak orang lain sama-sama susahnya. Boleh curhat tapi jangan bermental korban yang apa-apa ingin didahulukan atau dikasihani. You are not the center of the world!


Itulah dua hal yang menjadi  bahan renungan saya soal bahagia untuk orang lain. Bahagia untuk diri sendiri itu penting, namun level bahagia tertinggi jika kita juga punya ketulusan, salah satunya tidak iri dengan kebahagiaan orang lain. The real happiness comes from your sincere heart!

3 komentar

Reffi Dhinar mengatakan...

bener suka banget kalimat ini :)

BlogSabda.com mengatakan...

kita ga bisa mengukur kebahagiaan diri kita dengan membandingkan dengan orang lain mbak.

Saya merasakan itu sih. Mirip, bahkan sama. Saya merasa saya kok gini2 aja ya? kemudian membandingkan dengan orang lain.

Dan tau apa, ternyata orang lain itu tidak sebahagia kita, malah mengeluhkan hal yang sama.

Mungkin lebih ke hal-hal yang bersifat baru. Sesuatu yang rutin kita kerjakan akan membosankan, lalu melihat capaian/kegiatan orang lain yg berbeda membuat kita ingin melakukan apa yang mereka lakukan

Reffi Dhinar mengatakan...

iya barangkali kita lagi bosan dengan rutinitas saja ya, dan harus bersyukur pastinya, makasi sudah mau sharing :)