Aku datang ke kota ini dengan membawa sejumput petunjuk yang kamu sisakan kemarin malam. Jalan, huruf beraksara Jawa yang tak bisa kubaca dan juga kertas kosong yang hanya berisi pesanmu adalah pengiraanku. Kamu hanya menulis,''Tia, aku pergi.'' Begitu saja. Tak peduli apa aku setuju atau tidak.
Kamu bilang jika kota dengan aksara unik favoritmu itu selalu menjadi tempatmu kembali. Seolah jika jiwa dan pikiranmu mengering dengan rutinitas kota padat industri, maka melarikan diri sejenak ke kota aksara itu kegelisahanmu pun akan memuai.
Tapi, tak biasanya kamu pergi dengan meninggalkan pesan. Kopi yang kuseduhkan semalam pun tak habis. Ada apa dengan isi kepalamu sekarang?
Apakah ada hati lain yang mengikatmu di kota aksara itu? Apakah melepas penat hanyalah kamuflase yang kau gunakan untuk menjaga kerapian hatiku? Maka daripada aku menduga-duga, segera kuambil beberapa potong baju untuk mencari jejakmu.
Jalanan di sini sudah sangat padat. Jalanan dengan aksara favoritmu, tak hanya satu. Jadi kamu harus kucari di mana? Lalu aku melihatmu, apa itu kamu atau seseorang yang mirip kamu? Tangannya seperti milikmu, sedang menatap sudut jalan bertuliskan Malioboro.
"Kamu ingat tempat ini, Tia?'' Ya itu suaramu. Aku senang bisa menemukanmu.
"Iya, aku ingat,'' jawabku.
"Di sini tempat kita bertemu dan berpisah, Tia. Kurasa jika kamu sudah ingat, segeralah kembali ke rumahmu. Besok aku akan menikah, pulanglah. Kamu tetap akan selalu kuingat seperti aku mengingat jalan ini,''
Aku ingat. Aksara itu menjadi penanda saat tubuhku terpelanting keras akibat tabrakan tak terencana itu. Kamu yang membopong tubuhku.
Tidak ada komentar
Posting Komentar