Menonton film adalah hobi utama keluarga saya. Bioskop adalah tempat kencan favorit orang tua dari zaman masih pacaran. Sampai ketika lahir saya pun, hobi tersebut sengaja ditularkan lewat film-film favorit mereka. Sejak kecil, saya sering diajak menonton film di bioskop sambil mengunyah stick cokelat favorit. Aroma popcorn dan ruangan bioskop, menjadi tempat favorit ketiga selain kamar tidur dan toko buku. Tentu saja budaya sensor mandiri sudah diterapkan orang tua supaya otak kanak-kanak saya tidak terkontaminasi pengaruh negatif.
Tidak bisa dihindari jika menonton film Hollywood atau film Asia, pasti terselip banyak adegan yang kurang cocok ditonton anak-anak. Maka tiap kali terdapat adegan perkelahian, Papa selalu mengatakan kalau apa yang terjadi di dalam film hanyalah tipuan pura-pura. Papa akan menjelaskan jika memang terjadi perkelahian antara tokoh utama dengan tokoh penjahat, itu selalu ada sebabnya. Tokoh utama itu memukul karena keluarga atau kekasihnya diculik lalu hendak dibunuh, atau malah menasehati untuk tidak mudah terpancing emosi. Beladiri dipelajari bukan untuk sok jagoan melainkan untuk membela diri atau menyelamatkan orang lain.
Berbeda lagi jika kami menonton film dengan banyak adegan romantis. Kadang-kadang di tengah film Hollywod pasti teselip adegan bermesraan yang belum pantas ditonton anak kecil. Mama akan menutup mata saya, kemudian berkata jika adegan itu hanya bisa ditonton jika saya sudah cukup usia dan boleh diakukan oleh siapapun yang sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Contoh yang diberikan oleh orang tua saya di kehidupan keluarga kami, kemesraan antara wanita dan pria memang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah menikah. Pelan-pelan saya berusaha memahami apa maksud Mama dan Papa. Namun, dengan dasar pengetahuan itu, saya jadi tidak terlalu penasaran dengan adegan film yang ada.
Sebelum menonton, Papa juga selalu mencari informasi tentang isi film baik dari surat kabar atau kepada petugas bioskop ketika sedang membeli tiket. Film yang dirasa terlalu vulgar menonjolkan kekerasan dan juga adegan dewasa, tentu tidak akan dipilih. Bahkan Papa sampai membelikan kami laserdisk, sebuah alat pemutar kepingan film yang masih sangat lebar seperti piringan hitam supaya bisa menonton banyak film yang belum sempat ditonton di bioskop. Papa dan Mama membelikan saya kaset-kaset film kartun yang kebanyakan buatan Disney. Dari situlah imajinasi saya semakin berkembang yang cukup berpengaruh pada kemampuan menulis.
Jadi menurut saya, budaya sensor mandiri yang dilakukan oleh orang tua itu bukan dengan membatasi keinginan anak menonton film, melainkan mendampingi dan mau menjelaskan dengan telaten tentang film dan segala pernak-perniknya. Orang tua harus berperan aktif sebagai pengawas anaknya saat menonton film. Apalagi di zaman internet seperti saat ini, pastilah sangat mudah jika ingin mengetahui review serta rating sebuah film. Jangan lupa untuk memperkenalkan film-film buatan sineas lokal Indonesia agar anak-anak tidak apatis terhadap film negeri sendiri.
Tidak ada komentar
Posting Komentar