Sudah lama aku tidak menuliskan tentang perasaan. Iya, barangkali
kamu yang tak sengaja mampir ke tempatku menuangkan kata-kata ini, sudah
terbiasa tidak membaca apa-apa yang sudah menjadi bagian hatiku.
Kadang semakin dewasanya pikiran, seiring bertambahnya usia,
maka ungkapan perasaan yang dulunya mudah dibaca di mana saja, kini lebih
nyaman disimpan saja. Dalam hening dan juga degup yang penuh hiruk pikuk.
Aku dan mungkin kamu sering mengumpamakan perasaan sebagai sebuah
hal yang abstrak, absurd. Padahal sesungguhnya terwujud dalam sinyal yang
sederhana. Hanya kita saja, sebagai manusia yang penuh pertimbangan serta
ketakutan, menjadikannya rumit tidak terkira.
Ketika perasaan itu terjatuh lalu tergelincir menjadi sebuah
rindu yang memasung, maka kita dengan mudah mengartikannya sebagai cinta. Cinta
yang dikira sejati, langsung dicap begitu saja sebagai jodoh yang harus
dimiliki. Kita berjuang tanpa henti. Mendoakan namanya di tiap malam bahkan di
tiap kita bernafas, sampai lupa ada yang namanya ‘luka’.
Berbicara tentang jodoh, hanya Sang Esa yang tahu pasti. Bisa
jadi kita sudah bersama dengan orang yang awalnya kita sayangi dan juga menyayangi
kita, lalu pada suatu titik perasaan itu lenyap. Atau ada suatu cerita, kita
baru bertemu dengan seseorang, dan waktu menggariskan takdir hingga kalian
berdampingan hingga rambut memutih. Tak ada yang tahu. Tiada yang mengerti. Padahal
sederhana saja jawabannya. Perasaan, sebesar apapun itu, punya jangka waktunya
sendiri kecuali kepada Tuhan karena kita mencintainya tanpa alasan hanya dengan
bekal keimanan. Perasaan manusia mungkin bisa tak mati, hanya berubah bentuknya
dan warna nuansanya saja. Tak mutlak seperti cinta pada Sang Esa.
Perasaan mampu menjadi kekal, sampai seseorang tidak mampu
berpaling. Kekekalan itu bergandengan dengan kesepian, tentu saja itu terjadi. Jangan
mengira, kesepian itu bentuk kesejatian, hanya saja sebuah keikhlasan untuk
menerima lalu memilihlah yang menjadikan perasaan bisa jadi bermakna baik atau
malah berujung keburukan.
Perasaan itu bisa ditebak. Kita punya kemampuannya, namun
seringkali alpa.
Aku pernah mengalaminya.
source: www.quotesvalley.com |
Perasaan yang sederhana, sesederhana seseorang yang rela
menjadi tempatmu berbagi kisah di tengah malam tanpa tahu waktu. Seseorang yang
datang di saat kamu sedang butuh bahu untuk jadi tempat menangis, walau jarak
rumahnya jauh. Seseorang yang menginjak perasaannya sendiri, lalu mendukungmu
untuk meraih cintamu dengan sosok lain yang ujung-ujungnya malah menyakiti.
Di saat tersadar tentang tulusnya, orang itu sudah pergi. Bersama
kisah yang pasti membuatmu iri.
Aku pernah mengalami. Lalu tersenyum karena sempat menerima
perasaan sehebat itu, walau tidak pernah kumengerti.
Setelah tiga kali patah pada kisah yang berbeda. Cerita buram
yang punya alur tak sama. Aku semakin paham, bahwasanya perasaan tak bisa
diukur dari kata-kata saja. Perilaku penuh perhatian pun tak selalu mengandung
tulus. Justru penerimaan pada kekurangan, pengorbanan tak kenal waktu dan
berkali-kali, amarah dan nasehat yang menyejukkan hati ialah bentuk ungkapan
perasaan yang lebih sejati.
source : favim.com |
Dan kini aku bersyukur. Perjalanan perasaan di titik ini,
mengubah isi kepala yang dulu hanya mengejar romansa, atau salah mengira
bagaimana rupa tulus perasaan seperti apa. Perasaan itu sederhana. Sesederhana ketika
ia menceritakan kegagalan dan mau menjadi tempat sampah cerita patah hatimu dengan
manusia lainnya, padahal ia juga sedang merasai patah hati di waktu yang sama.
Perasaan itu, sebenarnya sederhana.
Tidak ada komentar
Posting Komentar