Darani sangat membenci kopi. Sama seperti kebenciannya pada
omong kosong soal cinta. Para pecandu kopi menyatakan jika biji kopi hitam yang
sudah diracik menjadi minuman panas atau hangat, bisa menimbulkan gairah,
memicu kreativitas dan juga menghalau kantuk. Menurut Darani, itu adalah ocehan
omong kosong. Darani berpendapat kalau semua dukungan terhadap kopi itu hanya
untuk menutupi kelemahan diri.
Orang yang tidak betah begadang dan ingin
sok-sokan kuat, minum kopi.
Orang yang memang dasarnya malas, menjadikan
kopi sebagai stimulan.
Kalau memang benar-benar kuat, seseorang
tidak butuh kopi sebagai pemicunya. Sama dengan cinta. Orang lain bilang,
bahkan beberapa mantan kekasih Darani menyatakan kalau cinta membuat hidup jadi
lebih berwarna. Darani tertawa tiap kali hal itu diungkapkan. Dia akan segera
kehilangan ketertarikan pada pria-pria yang ia kencani jika sudah
mengagung-agungkan cinta.
Orang bisa hidup karena kesedihan dan
takut kehilangan. Seperti ibu Darani yang sangat takut jika putrinya tiba-tiba
mati mendadak akibat asma yang diidap dari bocah, makanya ibu Darani sangat
memanjakan putrinya. Sampai-sampai Darani begitu sebal.
Cinta
itu hanyalah bagian dari hasrat. Hasrat ingin melindungi, hasrat ingin
memiliki dan hasrat ingin menguasai. Darani hanya percaya ketulusan cinta itu
pada Tuhan. Walau begitu sinis dengan hidupnya, Darani sangat percaya pada
Tuhannya. Cinta Tuhan tidaklah egois. Manusia boleh memilih baik atau buruk,
dan Tuhan tetap akan memberi berkah atau ujian yang ujung-ujungnya menyadarkan
besarnya cinta Tuhan pada manusia.
“Pendapatmu itu salah, Ni,” ujar Awan membantah
semua teori Darani di saat mereka sedang makan siang bersama di kafe dekat
kantor.
Awan adalah laki-laki yang sangat percaya
tentang cinta, bukan soal kopi. Mirip dengan keyakinan bahwa orang yang sedang jatuh
cinta atau patah hati akan selalu mellow mendadak tiap kali hujan turun.
“Salah dari mananya? Bukannya logikaku
juga ada benarnya meskipun berlawanan dengan orang kebanyakan?” sahut Darani
lebih sebal lagi. Ia merasa jika Awan tertarik padanya, tapi sejauh ini Awan
lebih sering membantah pendapatnya.
“Iya, memang cinta yang ada di hati
manusia itu penuh dengan keinginan macam-macam, tetapi ada juga manusia yang
memilih untuk mengerem keinginannya dalam diam dan melepaskan orang yang ia
cintai,” kata Awan lagi.
Pikiran Awan melayang jauh di pertemuan pertamanya
dengan Darani. Gadis bertubuh sedang, posturnya langsing menggoda dan juga
rambut lebat hitam yang lebih sering dikuncir, sudah menjadi magnet di kantor
penerbitan tempatnya bekerja. Darani juga sudah dua kali berpacaran dengan dua
orang berbeda di kantor penerbitan, tetapi semuanya berakhir menyedihkan. Menyedihkan
bagi mantan-mantan pacarnya karena Darani selalu menjadi pihak yang
meninggalkan.
Awan sebenarnya salah satu korban magnet
Darani, namun ia hanya bisa diam. Menjaga jarak terdekat agar tidak ada drama meninggalkan
atau ditinggalkan. Ia menjaga jarak sampai batas ‘teman dekat’.
“Apakah ada?” tantang Darani. Ia ingin
Awan segera mengakui kekalahannya.
“Ada,” jawab Awan singkat. Kuah supnya
sudah mulai mendingin karena ditinggal berdebat dengan Darani.
Darani memutar-mutar pisaunya. Dory steak di hadapannya tidak membangkitkan
selera.
“Ada yang lagi ngedeketin aku, Wan. Namanya
Billy, anak bank sebelah yang gajinya berjut-jut itu. Ganteng, pendiam, cool, ah kayanya ini cocok buat dijadikan
suami,” lagi-lagi Darani curhat soal laki-laki yang mendekatinya.
Awan berusaha tampil tenang. Dan
aktingnya memang tak pernah terbongkar selama ini.
“Serius mau kamu jadiin suami? Bukannya tiap
cowok yang ngedeketin kamu selalu kamu puji-puji kaya gini, sebelum kamu bosan
dan ninggalin mereka dengan segala macam alasan,” sindir Awan.
Darani berhenti mengunyah. Bibir tipis merah
mudanya mengerucut,”Please deh Wan, napa kamu
sinis banget sih sama aku? Mantan-mantanku kuputusin kan karena emang bikin aku
ilfil. Ada yang males banget nggak punya visi, ada yang berantakan banget
rumahnya dan kalau kusuruh buat beres-beres malah sebel, aku nggak mungkin
hidup sama orang yang nggak sevisi,” omel Darani.
“Jadi tujuanmu itu apa dalam relationship? Habis manis, ilfil
dibuang?” balas Awan, kali ini ia benar-benar kehilangan selera makan.
“Pergi deh kamu, males banget punya temen
yang nggak support kaya kamu!” Darani menghentakkan garpunya sampai piring steak berdenting.
Awan mengangkat tubuhnya, sudah tidak
tahan lagi,”Kamu memang selalu ingin menang sendiri, Ni.”
Darani tercenung. Baru kali ini Awan bisa
semarah itu sampai tega meninggalkannya sendirian. Biasanya Awan akan melayani
dengan sabar semua kecerewetan Darani.
Kini ia mulai membenci Awan, sama seperti
kebenciannya pada kopi.
Esok harinya, babak baru Darani dimulai. Awan
tidak lagi mengajaknya makan siang bersama. Awan membiarkan Darani sendirian. Darani
juga tak merasa kehilangan, sebab Billy sudah siap menjadi tukang antarnya
kemana-mana.
No more
late night call with him.
No more
useless debate with him.
No more
holding arms when she is sad.
Billy tidak suka kopi sama seperti
Darani. Billy menyukai semua pendapat Darani, bahkan ia tak pernah marah meskipun
Darani sering berkomentar pedas. Laki-laki idaman bukan?
Namun gejala bosan mulai mendera ketika
Billy bicara soal cinta. Ini seperti kutukan, dan Darani mulai ketakutan.
Apa yang dirasa ketika kita kehilangan
seseorang? Sesak, kegilaan tahap awal, dan hasrat untuk selalu bisa melihat
wajahnya. Padahal orang itu pergi atas
permintaan kita sendiri. Darani mengalami semua itu. Kekosongan di tiap makan
siang. Terus melihat ke arah ponsel seperti orang gila tiap malam, berharap
Awan akan menghubunginya bukannya Billy.
Jadi di hari keduapuluhsatu perang
dinginnya dengan Awan, Darani nekat naik taksi mengunjungi kontrakan Awan. Kakinya
berat. Pikirannya sibuk komentar macam-macam. Tahu-tahu Darani sudah mengetuk pintu dan melihat Awan
sedang membaca majalah.
“Ada apa, Ni?” tanya Awan singkat. Dingin.
“Jangan pergi, jangan meninggalkan. Aku sudah
tahu rasa sakitnya,” ucap Darani. Kalut.
“Tapi Billy? Nanti kamu juga sama
bosannya sama aku kalau kita melangkah lebih jauh,”
“Billy udah kuputusin. Sst, udah jangan
kebanyakan omong,” Darani meletakkan telunjuknya di bibir Awan.
Awan memeluk Darani. Berjanji tidak akan
melepaskannya lagi.
Darani tidak ingin pergi.
2 komentar
ini buat lomba FF ya mb
semoga menang ya, bagus ceritanya
iya mbak, amiin makasih doanya hehe :D
Posting Komentar