''Umurmu sudah mau kepala tiga, kalau masih pilih-pilih pasangan malah rugi! Buruan nikah!'' Kalimat itu selalu dikumandangkan oleh orang-orang di sekitar kita, termasuk di dalam keluarga saya sendiri. Seorang perempuan yang sekolah tinggi, berkarir bagus atau memiliki passion tak akan dianggap sempurna jika masih single di usia yang dianggap matang. Berbeda jika seorang pria berusia matang yang masih melajang, akan disarankan mencari daun muda.
Apakah perempuan itu hanya dinilai dari fungsi seksualitasnya saja? Lalu untuk apa dengan adanya gembar-gembor kesetaraan gender yang selalu dikumandangkan di banyak kesempatan? Perempuan di zaman apapun, tetap akan dinilai kurang sempurna jika belum menikah. Jikalau sudah menikahpun, pertanyaan berikutnya yang selalu menghantui adalah kapan mau punya anak? Apakah tidak kasihan dengan anak dan suami jika tetap berkarir di kantor atau di organisasi? Perempuan diakui kemampuan multitaskingnya, namun sekaligus juga diremehkan dalam urusan pilihan hidup.
Perempuan Indonesia Masih Harus Berjuang
Di medio tahun 2000 sampai 2004, hanya ada sekitar 9,8% perempuan dari total populasi penduduk Indonesia yang berhasil menduduki posisi legislatif. Seperti yang dijelaskan di dalam buku Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia, peraih nilai tertinggi di kelas hingga perguruan tinggi adalah perempuan. Ada sekitar 80% perempuan yang berhasil meraih prestasi terbaik, namun pada kenyataannya tak banyak perempuan yang bisa mencapai posisi tertinggi di sebuah perusahaan ataupun institusi lainnya.
Perempuan Indonesia disarankan untuk bisa berkarir serius jika putra dan putri sudah memasuki usia sekolah dimana tidak butuh pengawasan seketat saat mereka masih balita. Padahal sama saja. Di usia perkembangan anak-anak dari remaja sampai menjelang dewasa, peran orang tua dibutuhkan sama besarnya. Seorang ibu rela menyisihkan waktu istirahat demi mendampingi anak-anak belajar, melayani suami, mengatur perputaran roda ekonomi keluarga, dituntut menjadi koki dan harus rela mengenyampingkan waktu untuk bercengkerama dengan sahabat. Kenapa para pria tidak dimintai tanggung jawab yang sama porsinya?
Pria sudah bekerja keras membanting tulang demi memenuhi nafkah sekeluarga. Capek dan lelah menjadi alasan utama untuk tidak sedikit membantu istri. Misalnya dibalik posisinya, apakah para pria ini siap? Perempuan yang menjadi pencari nafkah utama lalu pria menjadi bapak rumah tangga. Apakah para pria yang tak pernah tahu ruwetnya mengatur uang, mendidik anak-anak dan juga menyenangkan semua anggota keluarga tersebut bersedia berganti peran dengan istri? Istri akan dicaci jika mengeluh uang yang diterima dari suami kurang. Istri dibilang harus pintar membagi apa yang diterima demi cukup membayar listrik, air dan juga pendidikan anak. Jika dilihat secara mendetil, sebenarnya tugas seorang ibu sama sekali tak sederhana, malah cenderung kompleks.
Budaya patriarki di Indonesia inilah yang saya sebutkan mengapa membuat perempuan menjadi terkungkung dalam tradisi. Modernitas dan emansipasi masih hanya sebagai seremonial saja karena pada prakteknya, perempuan lagi-lagi harus dihadapkan pada pilihan bekerja atau menikah? Sekolah lagi atau lalu berisiko jadi perawan tua? Perjuangan itu masih belum selesai hingga kini.
Sosialisasi Tentang Tokoh Perempuan Masa Kini
Perjuangan Kartini di bidang pendidikan perempuan atau kisah kepahlawanan Tjut Nyak Dien di masa penjajah seharusnya tak hanya diceritakan terus-menerus hingga masa kini, tanpa adanya cerita para tokoh perempuan di masa modern. Seorang walikota perempuan yang tangguh dan berdedikasi seperti Bu Trismaharani, sineas film jempolan seperti Mira Lesmana dan juga motivator perempuan Merry Riana juga menjadi cerita nyata yang keteladanannya perlu digaungkan.
Pengenalan mengenai perempuan inspiratif tersebut, jangan hanya diceritakan di antara para perempuan, laki-laki juga perlu diperkenalkan.
Kesadaran untuk sama-sama berhak mengenyam pendidikan setara dan hak untuk berkarir akan sangat percuma jika masih menggema di telinga para perempuan saja. Memang sudah mulai banyak pria yang tidak menganggap masalah dengan strata pendidikan wanita atau karir mereka, namun coba tanyakan pada sebagian besar lainnya. Apakah siap jika pasangannya menempuh jenjang pendidikan dan karirnya melampaui para pria? Apakah ego mereka bersedia untuk menerima kesetaraan tersebut?
Menjadi Perempuan Pintar Tak Boleh Jumawa
Jikalau perempuan memiliki kesempatan untuk berpendidikan tinggi atau meski tanpa sekolah bisa meraih passion yang diidamkan dan berkarir sesuai pilihannya, tak serta merta lantas menjadi jumawa atau tinggi hati. Perempuan pintar juga harus memiliki kepekaan yang sama tingginya. Apalagi jika kita yang mengalami ketidakadilan hanya karena gender sebagai perempuan, coba memulai untuk menyebarkan paham bahwa perempuan dan pria adalah makhluk berbeda, punya kemampuan fisiologis berbeda, namun menjadi satu bagian dalam keluarga.
Ayah bertugas menjadi penopang nafkah keluarga, juga wajib mau membantu ibu yang sibuk merawat anak-anak. Tugas bergantian untuk membersihkan rumah, saling berkomunikasi mengenai impian dan pilihan hidup masing-masing. Sesekali harus ada yang mengalah jikalau memang waktu dan situasi tidak memungkinkan untuk berjalan bersama. Misalnya, perempuan yang mengandung dan butuh menjaga kesehatan, pasti tak bisa bekerja full time di kantor. Maka cuti bekerja sementara, baru berkarir lagi setelah waktu dan keluarga mampu mengerti juga bukan pilihan buruk.
Apapun pilihan perempuan, tak boleh menjadi batu sandungan. Pria tak boleh takut dengan perempuan pintar. Sedangkan perempuan pintar tak boleh memandang rendah dan remeh pria. Saling menghargai dan empati tak terbatas pada sesama (jenis kelamin), seyogyanya bagi yang beda jenis pun harus tetap serupa rasa pengertiannya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar